Bukan Konsumsi Publik.


Berisik, sok akrab, sok peduli, ngobrol gak tau waktu, asal nyeplos. Yes intinya nyebelin, sudah tinggalkan saja.
Sejujurnya kalo di tanya gimana perasaanya? ga enak. lebih tepatnya ngerasa bersalah karna sok tau,. Iya maaf kan, saya emang nyebelin. sok tau, suka berisik.

Sebenernya gak penting saya berkoar-koar bilangin, kenapa saya bertingkah kaya gitu.

Saya belajar dari kehidupan.

Hidup itu Cuma buat akting, tingkah laku kita, sikap kita, cara bicara kita, itu semuanya bisa di atur. Siapa sutradaranya? Ya kita sendiri. Saya bisa jadi orang yang sangat baik kalau saya mau, saya bisa jadi orang judes kalau saya mau, saya bisa jadi orang nyebelin kalu saya mau, saya bisa jadi orang pendiam dan sangat tertutup kalau saya mau. Ingat “KALAU SAYA MAU” terus, apa mau di salahin lagi, kalau hidup itu sebenernya emang Cuma buat akting?

Dan lingkungan di sekitar kita juga bisa kita seting sesuai dengan yang kita lakukan. karna apa yang kita lakukan akan kembali pada diri kita sendiri, kebaikan di balas kebaikan dan sebaliknya. Kita pembuat skenario dan aktor yang bermain di dalam drama dunia ini.

Manusia itu butuh interaksi, karna manusia mahluk sosial, manusia itu butuh di peka-in, butuh di koreksi, butuh di tanggapin, butuh di anggap di tengah-tengah lingkunganya. Bayangin kalau seandainya kamu hidup di antara orang-orang yang ga peka, yang setiap kau melakukan apapun ga ada respon, setiap hal yang kamu tanyakan ga ada yang jawab, setiap kesalahan-kesalaan kamu di biarkan saja, setiap kebaikan kamu di diamkan saja. Bagaimana perasaan kamu ?

Ya emang, segala sesuatu itu ada porsinya, karna Allah juga menguji seoang hamba sesuai dengan porsi kemampuanya. harusnya kita bisa memposisikan diri dalam berinteraksi, harusnya kita tau seperti apa bertindak pada kondisi tertentu, harusnya kita berfikir sebelum melakukan sesuatu. Gak salah kan yang Saya katakan? Kalau salah silahkan komentari tulisan ini.

Lalu bagaimana harusnya bersikap dengan seorang teman yang ibaratanya udah kaya keluarga, yang bahkan tercanangkan sebuah ungkapan, (sebejat-bejatnya teman tetap teman)

Jika saya memposisikan diri sebagai salah satu orang di antara rombonga perteman itu. Saya akan bersikap layaknya keluarga, ga usah jaim, ga perlu ada yang di tutup-tutupin. toh, suatu saat nanti mereka bakal tau kita kaya gimana. ga perlu teman-teman saya tau buruknya saya dari cerita orang lain. Mereka bisa langsung menilai saya bagaimana saya berinteraksi dengan mereka.

Pertama, saya membahas masalah tingkah laku yang di seting oleh kita sendiri.

Kedua, manusia itu butuh interaksi dalam bentuk apapun.

Ketiga, bagaimana menempatkan sikap pada tempatnya.

Keempat, bagaiman bertingkah dalam wadah keluarga.

Entah sejak berapa bulan belakang saya menseting diri saya untuk selalu merespon hal sekecil apapun, terutama dalam grup di media sosial. karna saya sebagai mahluk pranata sosial juga pingin di perlakukan kaya gitu. Mau di respon tiap ucapanya, biar saya merasakan ada orang di sekeliling saya meski keberadaan nyatanya di negri antah berantah.

Pernah tau kan gimana gak enak rasanyan di cuekin? Apa lagi di cuekin sama orang-orang yang udah lama kita kenal, yang udah kita anggap keluarga.

Bercermin ke kejadian tadi pagi, ya saya akui. saya yang salah, terlalu berlebihan bercandanya. Padahal itu hal sepele, entah mungkin saya yang terlalu beper. Tapi saya mau mengoreksi satu hal. Bahasa pesan ga ada intonasinya.

Serius, saya Cuma mau becanda doang.

Kalau ternyata saya salah memposisikan diri, salah berakting dan bertingkah dalam meseting diri buat teman-teman, saya bisa ulang setingnya. Maaf atas banyak ributnya di grup, maaf sok kenal sok dekat ke teman-teman.

Jangan tanya kenapa, jika suatu saat saya berubah.
Saya akan diam jika suara saya tidak di perlukan, mohon maaf untuk keribuan yang pernah saya lakukan.

Diam itu emas, karna Semakin banyak seorang bertindak maka akan semakin banyak kesalahan yang dia lakukan.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bukan Konsumsi Publik."

Posting Komentar