Gadis berbalut jilbab merah marun itu berjalan perlahan memutari deretan lemari-lemari kaca yang memajang berbagai jenis sepatu,. matanya terus bergerak liar memperhatikan setiap liku garis yang terukir di setiap sepatu yang terpajang. Sudah 10 menit berlalu, tapi belum juga ada sepatu yang menarik perhatianya, sudah 11 baris lemari di lewatinya. gak ada yang cocok pikirnya. Ia keluar dari toko itu dengan tangan kosong, sama dengan keadaan perutnya yang belum sempat di isinya dengan sebutir nasipun, caing-cacing di perutnya telah unjukrasa meminta pertanggung jawaban pada si empunya.
“banyak orang tua yang salah niat masukin anak-anak mereka ke pesantren, sebagaian orang tua mikir pesantren itu bengkel kepribadia. mereka pikir anak nakal yang di sekolahin di pesantren bakal jadi baik? bakal jadi soleh?. kalau ada tiga orang tua yang mikir kayak gitu. maka akan berkumpulah tiga anak bandel di pesantren, dan menjadi wabah baru buat yang lain” kejadian 6 tahun silam samar-samar terputar lagi dalam ingatanya, ungkapan sengit Faiz pada adik-adiknya. Ia masih ingat saat ayah ibunya menanyakan ini-itu tentang keadaan anak sulung mereka yang terpaksa harus meminta ayahnya datang untuk memenuhi pangilan SP yang di terima Faiz pada tahun terakhirnya di pesantren.
semuanya semakin berbeda saat Faiz telah menjadi siswa putih abu-abu di sebuah SMA ternama di kota ini. Faiz tinggalah sebuah nama bagi empat orang adik perempuanya, siapa yang pantas di sebut abang di sini? Sabaris pertanyaan yang pernah di ucapkanya dulu dan di amini oleh tiga saudarinya di selingi gelak tawa. Ya, kehidupan mereka tak lebih hanya saudara sedarah, hanya itu-bukan hubungan kakak-adik. walaupun di masing-masing hati mereka sangat merindukan masa-masa dimana akan ada yang tersenyum ramah saat mereka panggil dengan sebutan abang, ada seorang kakak lelaki yang bersedia berbagi tawa dan canda, mereka merindukan banyak hal di masa kecil,. Tapi semuanya hanya masa lalu. yang lalu biarlah berlalu, tak ada yang harus di sesali, jika kehidupan mereka telah banyak berubah.
Dreeet..dreeet.. Getaran handphone di itu membuyarkanya dari nostalgia beberapa tahun silam. Sebuah pesan masuk dari Nabila, adik keduanya.
From: Nabila
Nanti kalo pulang beli buter crim, buat kue ulang tahunya bang Faiz besok. Kata mama pake uang kk dulu. Kadonya jangan lupa.
Setelah membaca pesan itu, Sarah langsung bengkit dari duduknya, beranjak membayar uang makan di kasir.
Akhir-akhir ini Faiz lebih sering menghabiskan waktunya di kampus, tidak seperti awal-awal kuliah dulu, dia selalu berada di depan komputer bermain games online jika sedang tidak ada jadwal kuliah. Tapi sekarang keorganisasian yang di ikutinya banyak menyita waktu, ia sering pulang sore, dan jika sedang di rumah dia juga lebih rajin berada di kamar berkutat dengan buku dan kertas. Kadang ia sampai terlelap bersama tumpukan kertas-kertasnya. Bagi orang tua Faiz, itu adalah sebuah kemajuan, tapi tidak untuk ke empat adik perempuanya, Faiz tetaplah sama, tidak bisa di ajak bercanda, tidak bisa berbagi tawa, tidak bisa di tanya-tanya, dan selalu tidak ada waktu untuk mereka.
Saat duduk di bangku SMA dulu, Faiz selalu mengeluhkan adik-adiknya yang masih kecil. Sebagai laki-laki yang sedang tumbuh menjadi remaja Faiz tidak lagi merasa cocok bermain dengan adik-adiknya. ia tidak lagi suka jika berpergian bersama ke empat adiknya, kadang ia merasa malu dengan tingkah kekanak-kanakan mereka, yang sering kali banyak bercanda bila berada di luar rumah. ia juga sering kali merasa terganggu bila adik-adiknya penasaran dengan barang-barang yang di milikinya, suka bertanya banyak hal tentang apa yang dia lakukan. Itulah sebabnya Faiz menjauhi aktifitas yang selalu berkaitan dengan ke empat adiknya. bahkan bila keluarganya mudik ke kampung Faiz juga sering lebih memilih untuk di rumah saja, bagi Faiz bermain games adalah satu-satunya hal yang bisa menghilangkan kejenuhan dan melupakan ia dengan kebisingan di rumah. kesikanya di dunia games sering membuatnya lupa waktu, Faiz mulai sering tidak melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslim, bahkan ia beberapa kali berbohong untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Faiz berubah menjadi sosok yang jauh dari harapan adik-adiknya, bukan lagi sosok yang dapat memberi teladan untuk ke empat adik perempuanya.
Ia yang telah menciptakan Jarak di antara saudara-saudaranya, dan ia juga yang telah menciptakan jarak pada tuhanya, sedikit nikmat dunia telah membuatnya lupa diri, ia tak sadar mengejar sesuatu yang tak akan ada habisnya itu, ia mengejar dunia yang hanya akan menawarkan kemilaunya, bukan kenikmatannya. Faiz jatu, jatuh dalam pelukan dunia. Hingga saat mereka telah remaja. Mereka tetaplah sama tidak saling tegur sapa, hanya bicara seperlunya, tidak saling peduli dengan kegiatan masing-masing. Adik-adiknya tidak lagi pernah mangajaknya untuk berlibur melepas lelah dari semua aktifitas, seperti yang dulu sering di tawarkan padanya, mereka sudah faham, Faiz punya dunianya sendiri, biarkan dia bahagia bersama dunianya. Jika adik-adiknya sedang bercanda saat berkumpul di ruang keluarga Faiz sering kali menjadi orang yang paling asing di sana, akhirnya ia memilih untuk kembali ke kamar, meraih dunia gamesnya.
Walau ada jarak yang memisahkan mereka ada satu hal yang selalu tak pernah di lupakan oleh adik-adiknya, saling memberi hadiah saat ada yang ulang tahun, termasuk Faiz, adik-adiknya tidak pernah mempermasalahkan karna Faiz tidak pernah memberi hadiah balasan jika adik-adiknya ulang tahun. Karna sebenarnya bukan hadiahnya yang mereka ingin berikan, tapi sepucuk surat yang selalu terselip di setiap kado-kado yang mereka berikan, setiap untaian do’a dan harapan mereka, karna hanya itu satu-satunya cara mereka bisa leluasa berkomunikasi dengan sosok kakak yang tak pernah muncul sejak beberapa tahun silam, mereka tetap peduli, ya... walaupun dalam diam.
“Sanah Helwah bang Faiz Ar-rahman” sebuah pos-it tertempel asal di kotak berbalut kertas kado biru laut. Kado terakhir yang terkumpul setelah Kaila, penghuni termuda di rumah ini susah payah membungkus kadonya sendiri. Mereka: Sarah, Zahra, Nabila dan Kaila membawa kado masing-masing ke kamar sang anak tertua; Faiz. Menyusun semua kado-kado itu di atas kasur, lalu segera kembali ke kamar besar mereka.
Setiap tahunya selalu begitu, mereka menamainya silance party, karna mereka selalu memberikan hadiah dengan cara seperti itu, berbeda jika salah satu di antara mereka yang ulang tahun, mereka akan heboh dengan foto-foto bersama, membuat vidio dan saling mengerjai satu sama lain.
Hari itu faiz pulang malam karna selesai kuliah dia langsung bermain futsal dengan teman-teman kampusnya, sekalian merayakan hari menuanya di salah satu kos teman. Tepat pukul 20:00 Faiz memarkirkan mobilnya di halaman depan, rumahnya sudah terlihat sepi.
Ia menyempatkan diri ke dapur dulu sebelum ke kamar, untuk mengambil makan, karna perutnya sudah meronta minta di isi nasi. Sebuah kue ulang tahun terpajang di lemari kaca tempat ibunya menyimpan lauk. Faiz melihatnya sekilas lalu mengambil beberapa lauk dan berlalu ke kamarnya. Seulas senyum terukir di wajahnya yang oriental karna ternyata kehadiranya telah di nantikan oleh empat buah kado di atas kasur.
Sepatu, jam tangan, power bank, handsfree. Semua barang-barang itu tergeletak di atas meja, kertas kado berserakan di lantai bersama kotak bekas kado yang tadi membungkus barang-barang itu. Di bacanya surat itu satu-satu, isinya sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya, rangkaian do’a panjang untuk dirinya, beberapa kata maaf dan motivasi.
Matanya belum juga bisa terpejam, sudah lima menit yang lalu Faiz rebahan di kasur, fikiranya melayang-layang, Teringat lagi isi surat dari adik-adik permpuanya. Ternyata mereka masih peduli dengan dirinya yang tidak pernah memedulikan keadaan rumah, lucu rasanya mengingat bagaimana keadaan persaudaraan dirinya dan ke empat adiknya,. “Zahra kelas berapa ya sekarang?” Terlalu banyak hal yang ia tidak ketahui tentang adik-adiknya, karna sejak SMA dulu Faiz tidak lagi suka bertanya tentang keadaan mereka. Jangankan keadaan mereka di sekolah, bahkan usianyapun Faiz tak tau. Faiz mulai merasakan ada hal yang aneh pada dirinya, tidak selayaknya dia sebagai kakak tertua menutup diri dari adik-adiknya, sekarang dia bukan lagi seorang remaja, dia telah dewasa. Harusnya dia juga bertindak sebagaimana orang dewasa. ia lebih banyak tau tentang kekasihnya ketimbang adik-adiknya yang sudah 20 tahun hidup bersama denganya. Kadang ia merasa begitu asing saat harus berkomunikasi banyak dengan adiknya, seolah-olah mereka bukan saudara. Di helahnya nafas panjang, toh adik-adiknya tidak ribut dan mempermasalahkan dirinya yang cuek ini, biarkan sajalah, fikirnya.
***
Jam 12:30 seorang lelaki bertubuh tinggi dengan garis wajah mulai menua, mengemasi barang-barangnya di atas meja. “baiklah besok tugasnya silahkan di kumpulkan ke robi, bapak gak mau ada yang terlambat lagi. Kalo terlambat, nilai langsung Nol, mengerti ?” sang dosen langsung keluar dari kelas, para mahasiswa berbubaran, ada sebagian yang masih ngobrol di dalam ruangan.
“Han, lu jadi mau ke depag?” Faiz mendekati Farhan, teman kecilnya dulu yang sekarang satu fakultas denganya.
“jadilah, nape?”
“bareng gua aja yuk, gua mau liat-liat, gimana sitemya, barang kali ntar gua berubah pikiran.” jelas Faiz.
“boleh, ntar anterin pulang ke rumah sekalian ya”
“sip, yuk buruan” dua pemuda itu berjalan beriringan menuju parkiran mobil.
Jalanan lengang siang itu, Faiz dengan leluasa memacu kendaraan lain dari berbagai sisi, karana tempat yang akan mereka tuju masih berada jauh dari lokasi kampus mereka.
“Han, ko lu mau ngelamarnya ke depag sih?” tanya Faiz memecah keheningan
“sebenernya gua mah mau balas budi aja iz, kalo gua sih maunya kerja di perusahan aja, kan gajinya lebih gede tuh,” mereka terawa bersama sambil menipali dengan guyonan-guyonan mereka di masa kecil.
“balas budi buat apaan? Ga ngerti gua” tanya Faiz lagi.
Farhan menghirup nafas dalam, lalu menghelanya perlahan. Di liriknya Faiz yang sedang memperhatikan gerak kendaraan lain.
“Iz, lo tau kan hukum yang mengatakan bahwa, segala perbuatan yang kita lakuakn, hakikatnya akan kembali lagi ke kita meski dengan cara yang berbeda” Faiz mengangguk-angguk tanda mengerti sambil sesekali melirik Farhan yang terlihat akan bicara panjang lebar.”gua rasa lu lebih paham deh dari gua, lu kan mantan santri,” Faiz hanya tersenyum kecut mendengarnya. “sebenernya ini bukan cuman balas budi sih iz, kayaknya gua bakal ngabdi deh sampe tua di sana, karan selama ini, hidup gua seutuhnya di biyayai sama depag.”
“serius lo?” tanya Faiz tak percaya, “bukanya om tengku itu..?”
“dia bukan om gua iz, kita ga ada hubungan darah sama sekali, udah ah, ntar gua malah jadi curhat lagi.” elak Farhan yang merasa pembicaraan mereka akan membongkar masa lalunya lagi.
“lo pikir gua temen apaan ha? Cerita aja lagi, perjalanan kita masih lama. Lo tau semua tentang gua, sementara gua?” Faiz seolah-olah sedang bicara sendiri karna tidak mengahadap pada lawan bicaranya, “ga usah di tutup-tutupin, lagian kita udah temen lamakan.”
“gua cuman numpang tinggal aja di rumah om tengku, dia sahabat bokap gua,”
“oh, jadi bukan sodara kandung. Terus ortu lo dimana emang? Perasaan dari kecil lo sama om tengku mulu deh Han” tanya Faiz
“keluarga gua korban perang saudara di ambon iz, makanya gua nebeng tinggal sama om tengku, dan biyaya sekolah gua sejak SD itu di tanggung depag, karna bokap gua orang depag. Ya jadi sekarang gua balas budi dong, gua bakal ngabdi buat lembaga yang udah ngidupin gua sampe gede gini.”
Faiz hanya diam mendengarkan, 20 tahun ia mengenal Farhan, tapi ia tak pernah tau bagaiman kedaan keluarga Farhan sebenarnya, selama berteman Farhanlah yang lebih sering main ke rumah Faiz dan mungkin Farhan lebih tau tentang adik-adiknya dari pada dirinya sendiri. Hari ini, sebuah lembaran lama terbuka, ia terharu, ia bangga, punya seorang teman yang tegar seperti Farhan, teringat dulu di masa SD, ia selalu mengeluhkan banyak hal pada Farhan, hinggga saat kuliah kadang ia juga mengeluhkan hal-hal sepele pada temanya yang hanya akan mebalas dengan candaan di sela saran dan nasihatnya. Bagitu pahitkah hidup Farhan? Tapi di mata banyak orang Farhan adalah sosok klimis, yang luas pergaulan, dan pintar dalam banyak hal, nilainya tak pernah jatuh dari angka delapan bahkan saat kuliahpun ia tak pernah terlihat kesulitan menghadapi pelajaran saat di kelas meski di tengah kesibukanya mengemban amanah sebagai seorang ketua BEM.
Sebuah sedan putih berhenti di depan kantor Departemen Agama, berjajar bersama mobil-mobil lainya.
“solat dulu yuk,” ajak Farhan, ia langsung berjalan ke sebuah mushola kecil di sudut kantor, di ikuti oleh langkah Faiz di belakangnya.
Jam menunjukan pukul 17:20 kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju parikaran, sambil membahas teknis dan sistem kerja di lembaga itu.
Farhan terus berjalan, bukanya berhenti untuk masuk mobil, Faiz kembali keluar dari mobil “ke mana han?” teriaknya
“pergi ke sana bentar iz,” jawab Farhan sambil menunjuk asal-asalan, ia berjalan tergesa menuju jalan raya.
Kejadian itu berlalu begitu cepat, tidak lebih dari satu menit setelah obrolan mereka. Kelakson bersahut-sahutan membelah jalanan, orang-orang berlarian melihat kejadian tidak di sengaja itu. Faiz turun dari mobil, yang di biarkanya terparkir asal di tengah gerbang keluar, tatapanya nanar setelah berhasil menerobos kerumunan warga yang memadati lokasi kejadian.
“pak-pak bawa ke mobil saya,” Faiz dan beberapa bapak-bapak membopong tubuh Farhan yang tidak lagi sadarkan diri, entah bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi, mobil yang menabrak Farhan telah di amankan oleh warga. Perasaanya tak bersahabat sore ini takut, kalut, cemas semuanya bercampur, tangganya dingin karna gugup, Faiz jadi tidak konsenterasi mengendarai mobil. Farhan, kenapa bisa begini? Ia cemas takut mengendarai mobil menggunakan kecepatan tinggi, tapi ia lebih takut lagi bila karna cemasnya akan berdampak lebih buruk lagi bagi keadaan Farhan yang kini terkulai berlumuran darah di bangku belakang, di temani seorang warga.
Faiz terduduk lemas di bangku koridor rumah sakit, pandangannya kosong menatap petak-petak keramik yang di pijaknya, pikiranya entah sedang kemana. Ia tak mengerti alur yang sedang tuhan gariskan pada hidupnya, rumit dan sulit. Setengah jam sudah ia diam sendirian di sana, menunggu keputusan dokter yang sedang menangani Farhan.
Seorang lelaki paruh baya menyentuh pundaknya, di pandanginya lelaki itu tajam, tatapan itu menghakimi keteledoran lelaki itu sebagai pengendara mobil. Ia hanya menatap, tak sanggup berkata, sebentar lalu di tundukanya lagi pandangan.
Seorang dokter muda keluar dari ruangan UGD, di pandangnya dua lelaki yang sedang diam dengan pikiran masing-masing di hadapanya itu. Faiz berdiri mendekatinya duluan “maaf, kami sudah berusaha untuk menolongnya, tapi tuhan punya rencana lain.” dokter muda itu menepuk Pundak Faiz pelan untuk memberi kekuatan.
Sesederhana inikah kehidupan? Sebulir kristal bening mengalir pelan di atas pipi pemuda itu, entah untuk apa air mata itu keluar, ia berjalan memasuki ruangan UGD, tubuh itu tak lagi bergeming saat disentuh, wajahnya tak lagi secerah tadi saat ia bertemu. Ia lelaki, tapi air matanya terus membasahi pipinya, ia menangisi kepergian sahabatnya, mungkin inikah yang Farhan katakan tadi? Mengantarnya pulang ke rumah? Ia ingin memaki keadaan ini, tapi ia tau, tak pantas ia memaki keadaan yang telah tuhan tetapkan untuk setiap hamba-Nya, mungkin tuhan sudah merindukan Farhan kembali kepangkuan-Nya.
Om tengku dan istrinya kini sudah ada di sana, ayah dan ibunya juga. Tangan lembut seorang ibu melingkar di bahunya, merangkul bahu putra sulungnya, entah berapa tahun sudah ibu itu tidak melihat anaknya menangis, dan ini untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun itu.
Faiz mengikuti penyelenggaraan jenazah itu dari awal hingga akhir, bahkan ia meminta untuk turut memasukan jenazah Farhan ke tempat peristirahatan terakhirnya, ia turun memasuki liang yang akan di tempati oleh Farhan, rumah terakhir sahabatnya, ya dia berjaniji untuk mengantarkan Farhan pulang kemarin. ia akan melunnasi janjinya hari ini.
Tidak ada yang harus di sesali, bukankah kematian itu adalah takdir dari setiap kita yang hidup di bumi ini, kita hidup untuk mati. Karna kematianlah yang akan menghantarkan kita pada fase kehidupan selanjutnya, semua itu pasti terjadi, itu yang sudah tuhan tuliskan dalam kitab-Nya. Malam itu, untuk pertama kalinya. Faiz terpekur untuk waktu yang lama, banyak hal selama ini yang di rasakanya salah dalam hidupnya, kehidupan Farhan banyak memberikannya pelajaran, sorang Farhan yang hidup seorang diri saja masih bisa bersyukur dengan nikmat yang di dapatnya, bagaimana dengan ia? Bahakan ia sering kali tak ingat bahwa semua yang ia miliki itu hanya nikmat sementara yang di titipkan tuhan untuknya, ia terlalu menyepelekan banyak hal selama ini, ia terlalu larut memikirkan kehidupan dunianya, ia lupa jika harus memikirkan kehidupanya nanti di akhirat. Entah amalan apa yang tersisa selama ia melangkahkan kaki keluar dari pesantren itu. Malam itu, lagi-lagi Faiz menangis, ia menangis bukan karna kepergian Farhan, tapi ia menangisi dirinya yang telah jauh melangkah. Banyak kesalahan yang di perbuatnya, dan banyak hal juga yang harus di perbaikinya.
Pagi itu tidak seperti pagi-pagi sebelumya, Faiz sudah bangun sebelum azan subuh berkumandang, bahkan ia yang membangunkan adik-adiknya untuk solat subuh. ia juga hadir dalam acara sarapan pagi, menanyakan ini-itu pada adik-adiknya,. Ia yang menciptakan jarak, dan ia juga yang bertanggung jawab untuk menghilangkan jarak di antara mereka. pagi ini tawa mereka sudah seirama. Faiz tak lagi mau di anggap asing dalam keluarganya, ia harus mengembalikan keharmonisan antara kakak dan adik yang dulu pernah di rasakanya, ia berjajnji pada dirinya akan menjadi seornag kakak yang baik, seorang anak yang patuh dan seorang hamba yang ta’at, bukankah tuhan telah mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu yang mau merubahnya.
Bagi Faiz kehilangan teman seperti Farhan adalah hal terberat dalam hidupnya, banyak hal yang di sesalinya, banyak hal yang tak di indahkanya dari Farhan selama ini, tapi penyesalan bukan jalan keluar dari setiap masalahnya. Ia yakin akan ada hikmah di setiap kejadian, tergantung bagaimana kita menyikapai keadaan yang terjadi, Faiz memilih kembali menyapa hidayah yang pernah mengahpirinya dulu, karan ia tau suatu saat nanti ia juga akan berhadapan dengan sang maut, seperti yang sudah di hadapi temanya, Farhan.
“banyak orang tua yang salah niat masukin anak-anak mereka ke pesantren, sebagaian orang tua mikir pesantren itu bengkel kepribadia. mereka pikir anak nakal yang di sekolahin di pesantren bakal jadi baik? bakal jadi soleh?. kalau ada tiga orang tua yang mikir kayak gitu. maka akan berkumpulah tiga anak bandel di pesantren, dan menjadi wabah baru buat yang lain” kejadian 6 tahun silam samar-samar terputar lagi dalam ingatanya, ungkapan sengit Faiz pada adik-adiknya. Ia masih ingat saat ayah ibunya menanyakan ini-itu tentang keadaan anak sulung mereka yang terpaksa harus meminta ayahnya datang untuk memenuhi pangilan SP yang di terima Faiz pada tahun terakhirnya di pesantren.
semuanya semakin berbeda saat Faiz telah menjadi siswa putih abu-abu di sebuah SMA ternama di kota ini. Faiz tinggalah sebuah nama bagi empat orang adik perempuanya, siapa yang pantas di sebut abang di sini? Sabaris pertanyaan yang pernah di ucapkanya dulu dan di amini oleh tiga saudarinya di selingi gelak tawa. Ya, kehidupan mereka tak lebih hanya saudara sedarah, hanya itu-bukan hubungan kakak-adik. walaupun di masing-masing hati mereka sangat merindukan masa-masa dimana akan ada yang tersenyum ramah saat mereka panggil dengan sebutan abang, ada seorang kakak lelaki yang bersedia berbagi tawa dan canda, mereka merindukan banyak hal di masa kecil,. Tapi semuanya hanya masa lalu. yang lalu biarlah berlalu, tak ada yang harus di sesali, jika kehidupan mereka telah banyak berubah.
Dreeet..dreeet.. Getaran handphone di itu membuyarkanya dari nostalgia beberapa tahun silam. Sebuah pesan masuk dari Nabila, adik keduanya.
From: Nabila
Nanti kalo pulang beli buter crim, buat kue ulang tahunya bang Faiz besok. Kata mama pake uang kk dulu. Kadonya jangan lupa.
Setelah membaca pesan itu, Sarah langsung bengkit dari duduknya, beranjak membayar uang makan di kasir.
Akhir-akhir ini Faiz lebih sering menghabiskan waktunya di kampus, tidak seperti awal-awal kuliah dulu, dia selalu berada di depan komputer bermain games online jika sedang tidak ada jadwal kuliah. Tapi sekarang keorganisasian yang di ikutinya banyak menyita waktu, ia sering pulang sore, dan jika sedang di rumah dia juga lebih rajin berada di kamar berkutat dengan buku dan kertas. Kadang ia sampai terlelap bersama tumpukan kertas-kertasnya. Bagi orang tua Faiz, itu adalah sebuah kemajuan, tapi tidak untuk ke empat adik perempuanya, Faiz tetaplah sama, tidak bisa di ajak bercanda, tidak bisa berbagi tawa, tidak bisa di tanya-tanya, dan selalu tidak ada waktu untuk mereka.
Saat duduk di bangku SMA dulu, Faiz selalu mengeluhkan adik-adiknya yang masih kecil. Sebagai laki-laki yang sedang tumbuh menjadi remaja Faiz tidak lagi merasa cocok bermain dengan adik-adiknya. ia tidak lagi suka jika berpergian bersama ke empat adiknya, kadang ia merasa malu dengan tingkah kekanak-kanakan mereka, yang sering kali banyak bercanda bila berada di luar rumah. ia juga sering kali merasa terganggu bila adik-adiknya penasaran dengan barang-barang yang di milikinya, suka bertanya banyak hal tentang apa yang dia lakukan. Itulah sebabnya Faiz menjauhi aktifitas yang selalu berkaitan dengan ke empat adiknya. bahkan bila keluarganya mudik ke kampung Faiz juga sering lebih memilih untuk di rumah saja, bagi Faiz bermain games adalah satu-satunya hal yang bisa menghilangkan kejenuhan dan melupakan ia dengan kebisingan di rumah. kesikanya di dunia games sering membuatnya lupa waktu, Faiz mulai sering tidak melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslim, bahkan ia beberapa kali berbohong untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Faiz berubah menjadi sosok yang jauh dari harapan adik-adiknya, bukan lagi sosok yang dapat memberi teladan untuk ke empat adik perempuanya.
Ia yang telah menciptakan Jarak di antara saudara-saudaranya, dan ia juga yang telah menciptakan jarak pada tuhanya, sedikit nikmat dunia telah membuatnya lupa diri, ia tak sadar mengejar sesuatu yang tak akan ada habisnya itu, ia mengejar dunia yang hanya akan menawarkan kemilaunya, bukan kenikmatannya. Faiz jatu, jatuh dalam pelukan dunia. Hingga saat mereka telah remaja. Mereka tetaplah sama tidak saling tegur sapa, hanya bicara seperlunya, tidak saling peduli dengan kegiatan masing-masing. Adik-adiknya tidak lagi pernah mangajaknya untuk berlibur melepas lelah dari semua aktifitas, seperti yang dulu sering di tawarkan padanya, mereka sudah faham, Faiz punya dunianya sendiri, biarkan dia bahagia bersama dunianya. Jika adik-adiknya sedang bercanda saat berkumpul di ruang keluarga Faiz sering kali menjadi orang yang paling asing di sana, akhirnya ia memilih untuk kembali ke kamar, meraih dunia gamesnya.
Walau ada jarak yang memisahkan mereka ada satu hal yang selalu tak pernah di lupakan oleh adik-adiknya, saling memberi hadiah saat ada yang ulang tahun, termasuk Faiz, adik-adiknya tidak pernah mempermasalahkan karna Faiz tidak pernah memberi hadiah balasan jika adik-adiknya ulang tahun. Karna sebenarnya bukan hadiahnya yang mereka ingin berikan, tapi sepucuk surat yang selalu terselip di setiap kado-kado yang mereka berikan, setiap untaian do’a dan harapan mereka, karna hanya itu satu-satunya cara mereka bisa leluasa berkomunikasi dengan sosok kakak yang tak pernah muncul sejak beberapa tahun silam, mereka tetap peduli, ya... walaupun dalam diam.
“Sanah Helwah bang Faiz Ar-rahman” sebuah pos-it tertempel asal di kotak berbalut kertas kado biru laut. Kado terakhir yang terkumpul setelah Kaila, penghuni termuda di rumah ini susah payah membungkus kadonya sendiri. Mereka: Sarah, Zahra, Nabila dan Kaila membawa kado masing-masing ke kamar sang anak tertua; Faiz. Menyusun semua kado-kado itu di atas kasur, lalu segera kembali ke kamar besar mereka.
Setiap tahunya selalu begitu, mereka menamainya silance party, karna mereka selalu memberikan hadiah dengan cara seperti itu, berbeda jika salah satu di antara mereka yang ulang tahun, mereka akan heboh dengan foto-foto bersama, membuat vidio dan saling mengerjai satu sama lain.
Hari itu faiz pulang malam karna selesai kuliah dia langsung bermain futsal dengan teman-teman kampusnya, sekalian merayakan hari menuanya di salah satu kos teman. Tepat pukul 20:00 Faiz memarkirkan mobilnya di halaman depan, rumahnya sudah terlihat sepi.
Ia menyempatkan diri ke dapur dulu sebelum ke kamar, untuk mengambil makan, karna perutnya sudah meronta minta di isi nasi. Sebuah kue ulang tahun terpajang di lemari kaca tempat ibunya menyimpan lauk. Faiz melihatnya sekilas lalu mengambil beberapa lauk dan berlalu ke kamarnya. Seulas senyum terukir di wajahnya yang oriental karna ternyata kehadiranya telah di nantikan oleh empat buah kado di atas kasur.
Sepatu, jam tangan, power bank, handsfree. Semua barang-barang itu tergeletak di atas meja, kertas kado berserakan di lantai bersama kotak bekas kado yang tadi membungkus barang-barang itu. Di bacanya surat itu satu-satu, isinya sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya, rangkaian do’a panjang untuk dirinya, beberapa kata maaf dan motivasi.
Matanya belum juga bisa terpejam, sudah lima menit yang lalu Faiz rebahan di kasur, fikiranya melayang-layang, Teringat lagi isi surat dari adik-adik permpuanya. Ternyata mereka masih peduli dengan dirinya yang tidak pernah memedulikan keadaan rumah, lucu rasanya mengingat bagaimana keadaan persaudaraan dirinya dan ke empat adiknya,. “Zahra kelas berapa ya sekarang?” Terlalu banyak hal yang ia tidak ketahui tentang adik-adiknya, karna sejak SMA dulu Faiz tidak lagi suka bertanya tentang keadaan mereka. Jangankan keadaan mereka di sekolah, bahkan usianyapun Faiz tak tau. Faiz mulai merasakan ada hal yang aneh pada dirinya, tidak selayaknya dia sebagai kakak tertua menutup diri dari adik-adiknya, sekarang dia bukan lagi seorang remaja, dia telah dewasa. Harusnya dia juga bertindak sebagaimana orang dewasa. ia lebih banyak tau tentang kekasihnya ketimbang adik-adiknya yang sudah 20 tahun hidup bersama denganya. Kadang ia merasa begitu asing saat harus berkomunikasi banyak dengan adiknya, seolah-olah mereka bukan saudara. Di helahnya nafas panjang, toh adik-adiknya tidak ribut dan mempermasalahkan dirinya yang cuek ini, biarkan sajalah, fikirnya.
***
Jam 12:30 seorang lelaki bertubuh tinggi dengan garis wajah mulai menua, mengemasi barang-barangnya di atas meja. “baiklah besok tugasnya silahkan di kumpulkan ke robi, bapak gak mau ada yang terlambat lagi. Kalo terlambat, nilai langsung Nol, mengerti ?” sang dosen langsung keluar dari kelas, para mahasiswa berbubaran, ada sebagian yang masih ngobrol di dalam ruangan.
“Han, lu jadi mau ke depag?” Faiz mendekati Farhan, teman kecilnya dulu yang sekarang satu fakultas denganya.
“jadilah, nape?”
“bareng gua aja yuk, gua mau liat-liat, gimana sitemya, barang kali ntar gua berubah pikiran.” jelas Faiz.
“boleh, ntar anterin pulang ke rumah sekalian ya”
“sip, yuk buruan” dua pemuda itu berjalan beriringan menuju parkiran mobil.
Jalanan lengang siang itu, Faiz dengan leluasa memacu kendaraan lain dari berbagai sisi, karana tempat yang akan mereka tuju masih berada jauh dari lokasi kampus mereka.
“Han, ko lu mau ngelamarnya ke depag sih?” tanya Faiz memecah keheningan
“sebenernya gua mah mau balas budi aja iz, kalo gua sih maunya kerja di perusahan aja, kan gajinya lebih gede tuh,” mereka terawa bersama sambil menipali dengan guyonan-guyonan mereka di masa kecil.
“balas budi buat apaan? Ga ngerti gua” tanya Faiz lagi.
Farhan menghirup nafas dalam, lalu menghelanya perlahan. Di liriknya Faiz yang sedang memperhatikan gerak kendaraan lain.
“Iz, lo tau kan hukum yang mengatakan bahwa, segala perbuatan yang kita lakuakn, hakikatnya akan kembali lagi ke kita meski dengan cara yang berbeda” Faiz mengangguk-angguk tanda mengerti sambil sesekali melirik Farhan yang terlihat akan bicara panjang lebar.”gua rasa lu lebih paham deh dari gua, lu kan mantan santri,” Faiz hanya tersenyum kecut mendengarnya. “sebenernya ini bukan cuman balas budi sih iz, kayaknya gua bakal ngabdi deh sampe tua di sana, karan selama ini, hidup gua seutuhnya di biyayai sama depag.”
“serius lo?” tanya Faiz tak percaya, “bukanya om tengku itu..?”
“dia bukan om gua iz, kita ga ada hubungan darah sama sekali, udah ah, ntar gua malah jadi curhat lagi.” elak Farhan yang merasa pembicaraan mereka akan membongkar masa lalunya lagi.
“lo pikir gua temen apaan ha? Cerita aja lagi, perjalanan kita masih lama. Lo tau semua tentang gua, sementara gua?” Faiz seolah-olah sedang bicara sendiri karna tidak mengahadap pada lawan bicaranya, “ga usah di tutup-tutupin, lagian kita udah temen lamakan.”
“gua cuman numpang tinggal aja di rumah om tengku, dia sahabat bokap gua,”
“oh, jadi bukan sodara kandung. Terus ortu lo dimana emang? Perasaan dari kecil lo sama om tengku mulu deh Han” tanya Faiz
“keluarga gua korban perang saudara di ambon iz, makanya gua nebeng tinggal sama om tengku, dan biyaya sekolah gua sejak SD itu di tanggung depag, karna bokap gua orang depag. Ya jadi sekarang gua balas budi dong, gua bakal ngabdi buat lembaga yang udah ngidupin gua sampe gede gini.”
Faiz hanya diam mendengarkan, 20 tahun ia mengenal Farhan, tapi ia tak pernah tau bagaiman kedaan keluarga Farhan sebenarnya, selama berteman Farhanlah yang lebih sering main ke rumah Faiz dan mungkin Farhan lebih tau tentang adik-adiknya dari pada dirinya sendiri. Hari ini, sebuah lembaran lama terbuka, ia terharu, ia bangga, punya seorang teman yang tegar seperti Farhan, teringat dulu di masa SD, ia selalu mengeluhkan banyak hal pada Farhan, hinggga saat kuliah kadang ia juga mengeluhkan hal-hal sepele pada temanya yang hanya akan mebalas dengan candaan di sela saran dan nasihatnya. Bagitu pahitkah hidup Farhan? Tapi di mata banyak orang Farhan adalah sosok klimis, yang luas pergaulan, dan pintar dalam banyak hal, nilainya tak pernah jatuh dari angka delapan bahkan saat kuliahpun ia tak pernah terlihat kesulitan menghadapi pelajaran saat di kelas meski di tengah kesibukanya mengemban amanah sebagai seorang ketua BEM.
Sebuah sedan putih berhenti di depan kantor Departemen Agama, berjajar bersama mobil-mobil lainya.
“solat dulu yuk,” ajak Farhan, ia langsung berjalan ke sebuah mushola kecil di sudut kantor, di ikuti oleh langkah Faiz di belakangnya.
Jam menunjukan pukul 17:20 kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju parikaran, sambil membahas teknis dan sistem kerja di lembaga itu.
Farhan terus berjalan, bukanya berhenti untuk masuk mobil, Faiz kembali keluar dari mobil “ke mana han?” teriaknya
“pergi ke sana bentar iz,” jawab Farhan sambil menunjuk asal-asalan, ia berjalan tergesa menuju jalan raya.
Kejadian itu berlalu begitu cepat, tidak lebih dari satu menit setelah obrolan mereka. Kelakson bersahut-sahutan membelah jalanan, orang-orang berlarian melihat kejadian tidak di sengaja itu. Faiz turun dari mobil, yang di biarkanya terparkir asal di tengah gerbang keluar, tatapanya nanar setelah berhasil menerobos kerumunan warga yang memadati lokasi kejadian.
“pak-pak bawa ke mobil saya,” Faiz dan beberapa bapak-bapak membopong tubuh Farhan yang tidak lagi sadarkan diri, entah bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi, mobil yang menabrak Farhan telah di amankan oleh warga. Perasaanya tak bersahabat sore ini takut, kalut, cemas semuanya bercampur, tangganya dingin karna gugup, Faiz jadi tidak konsenterasi mengendarai mobil. Farhan, kenapa bisa begini? Ia cemas takut mengendarai mobil menggunakan kecepatan tinggi, tapi ia lebih takut lagi bila karna cemasnya akan berdampak lebih buruk lagi bagi keadaan Farhan yang kini terkulai berlumuran darah di bangku belakang, di temani seorang warga.
Faiz terduduk lemas di bangku koridor rumah sakit, pandangannya kosong menatap petak-petak keramik yang di pijaknya, pikiranya entah sedang kemana. Ia tak mengerti alur yang sedang tuhan gariskan pada hidupnya, rumit dan sulit. Setengah jam sudah ia diam sendirian di sana, menunggu keputusan dokter yang sedang menangani Farhan.
Seorang lelaki paruh baya menyentuh pundaknya, di pandanginya lelaki itu tajam, tatapan itu menghakimi keteledoran lelaki itu sebagai pengendara mobil. Ia hanya menatap, tak sanggup berkata, sebentar lalu di tundukanya lagi pandangan.
Seorang dokter muda keluar dari ruangan UGD, di pandangnya dua lelaki yang sedang diam dengan pikiran masing-masing di hadapanya itu. Faiz berdiri mendekatinya duluan “maaf, kami sudah berusaha untuk menolongnya, tapi tuhan punya rencana lain.” dokter muda itu menepuk Pundak Faiz pelan untuk memberi kekuatan.
Sesederhana inikah kehidupan? Sebulir kristal bening mengalir pelan di atas pipi pemuda itu, entah untuk apa air mata itu keluar, ia berjalan memasuki ruangan UGD, tubuh itu tak lagi bergeming saat disentuh, wajahnya tak lagi secerah tadi saat ia bertemu. Ia lelaki, tapi air matanya terus membasahi pipinya, ia menangisi kepergian sahabatnya, mungkin inikah yang Farhan katakan tadi? Mengantarnya pulang ke rumah? Ia ingin memaki keadaan ini, tapi ia tau, tak pantas ia memaki keadaan yang telah tuhan tetapkan untuk setiap hamba-Nya, mungkin tuhan sudah merindukan Farhan kembali kepangkuan-Nya.
Om tengku dan istrinya kini sudah ada di sana, ayah dan ibunya juga. Tangan lembut seorang ibu melingkar di bahunya, merangkul bahu putra sulungnya, entah berapa tahun sudah ibu itu tidak melihat anaknya menangis, dan ini untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun itu.
Faiz mengikuti penyelenggaraan jenazah itu dari awal hingga akhir, bahkan ia meminta untuk turut memasukan jenazah Farhan ke tempat peristirahatan terakhirnya, ia turun memasuki liang yang akan di tempati oleh Farhan, rumah terakhir sahabatnya, ya dia berjaniji untuk mengantarkan Farhan pulang kemarin. ia akan melunnasi janjinya hari ini.
Tidak ada yang harus di sesali, bukankah kematian itu adalah takdir dari setiap kita yang hidup di bumi ini, kita hidup untuk mati. Karna kematianlah yang akan menghantarkan kita pada fase kehidupan selanjutnya, semua itu pasti terjadi, itu yang sudah tuhan tuliskan dalam kitab-Nya. Malam itu, untuk pertama kalinya. Faiz terpekur untuk waktu yang lama, banyak hal selama ini yang di rasakanya salah dalam hidupnya, kehidupan Farhan banyak memberikannya pelajaran, sorang Farhan yang hidup seorang diri saja masih bisa bersyukur dengan nikmat yang di dapatnya, bagaimana dengan ia? Bahakan ia sering kali tak ingat bahwa semua yang ia miliki itu hanya nikmat sementara yang di titipkan tuhan untuknya, ia terlalu menyepelekan banyak hal selama ini, ia terlalu larut memikirkan kehidupan dunianya, ia lupa jika harus memikirkan kehidupanya nanti di akhirat. Entah amalan apa yang tersisa selama ia melangkahkan kaki keluar dari pesantren itu. Malam itu, lagi-lagi Faiz menangis, ia menangis bukan karna kepergian Farhan, tapi ia menangisi dirinya yang telah jauh melangkah. Banyak kesalahan yang di perbuatnya, dan banyak hal juga yang harus di perbaikinya.
Pagi itu tidak seperti pagi-pagi sebelumya, Faiz sudah bangun sebelum azan subuh berkumandang, bahkan ia yang membangunkan adik-adiknya untuk solat subuh. ia juga hadir dalam acara sarapan pagi, menanyakan ini-itu pada adik-adiknya,. Ia yang menciptakan jarak, dan ia juga yang bertanggung jawab untuk menghilangkan jarak di antara mereka. pagi ini tawa mereka sudah seirama. Faiz tak lagi mau di anggap asing dalam keluarganya, ia harus mengembalikan keharmonisan antara kakak dan adik yang dulu pernah di rasakanya, ia berjajnji pada dirinya akan menjadi seornag kakak yang baik, seorang anak yang patuh dan seorang hamba yang ta’at, bukankah tuhan telah mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu yang mau merubahnya.
Bagi Faiz kehilangan teman seperti Farhan adalah hal terberat dalam hidupnya, banyak hal yang di sesalinya, banyak hal yang tak di indahkanya dari Farhan selama ini, tapi penyesalan bukan jalan keluar dari setiap masalahnya. Ia yakin akan ada hikmah di setiap kejadian, tergantung bagaimana kita menyikapai keadaan yang terjadi, Faiz memilih kembali menyapa hidayah yang pernah mengahpirinya dulu, karan ia tau suatu saat nanti ia juga akan berhadapan dengan sang maut, seperti yang sudah di hadapi temanya, Farhan.
0 Response to "Kau Sapa Aku untuk Hijrah"
Posting Komentar