Menikah, bukan karena cinta




Dulu  sebelum akan menikah dan memang belum ada yang ngasih sinyal ngajak nikah, aku punya kriteria paten soal menerima calon pendamping hidup. Keriteria itu adalah "seperti abi" kenapa? Karena sejauh ini menjadi anaknya abi, aku melihat banyak keteladanan yang juga patut suamiku kelak miliki. Setidaknya aku sudah dibesarkan oleh orang baik, maka selanjutnya laki-laki yang akan menghabiskan sisa usia denganku juga harus orang baik.

Setelah agama yang baik aku memilih pembelajar yang baik, karena abi ku juga adalah pembelajar yang baik. Dan diantara karakter yang pasti akan aku tolak adalah "tempramen, kasar dan tidak sabaran" kalau ada salah satu dari tiga itu "Big No" karena Abi adalah seorang ayah yang sabar sekali, seingatku terakhir kali aku dimarahinya saat SD aku malas-malasan disuruh mengaji, selebihnya setiap kali aku menguji kesabaran nya abi hanya berbicara dengan banyak penekanan untuk aku fahami, atau kadang diam saja tidak meladeni. Menyoal harta umiku pernah berpetuah

 "Rezeki itu Allah yang jamin, umi sudah buktikan sendiri" 
Semakin bertambah usia, kisah pilu kehidupan rumah tangga orang sering mampir ketelinga. Terlebih setelah ada lelaki yang berniat untuk meminang, cerita-cerita menakutkan rumah tangga semakin sering terdengar, bahkan kadang dengan sengaja umi perdengarkan kepada ku, agar aku tidak gegabah mengabil keputusan.

Lelaki yang menawarkan diri untuk menjadi imam (*dulu doi emang bilangnya gitu. "Aku mau jadi imam kamu") itu  adalah seorang teman yang tidak cukup dekat, tapi cukup saling tau. Sebab terlalu banyak asupan kisah rumah tangga tidak sehat. takut-takut, aku berusaha membangun diskusi meminta tanggapan atas cerita-cerita menakutkan dan menyampaikan banyak tanya yang mengandung kekhawatiran. Hingga suatu hari disampaikannya pengurungan niatnya sebelum diskusi ini sampai ke orang tua. Mungkin karena dia merasa aku tidak percaya kalau dia baik dan mampu, setelah semua argumen dan banyak tanyaku. Alhamdulillah nya berkat kehendak sang pembolak-balik hati, dihari itu juga dia mengontak abi lewat pesan WhatsApp, menyampaikan maksud hati. Yang ternyata hanya dijawab,

"Alhamdulillah kalau sudah mengenal putri saya, silahkan datang kerumah dengan orang tua."

Dengan jawaban itu masih timbul banyak tanya dalam fikiranku yang akhirnya aku utarakan "emang abi mau terima? Dia kan lagi gak di indo. Masa datang ke indo, ke Pekanbaru dengan suatu yang engga pasti. (Diterima atau ditolak)" saat itu abi cuma bilang "nanti dipelajari dulu".

Saat itu bagi ku, ini bukan perkara mudah, aku dan lelaki ini besar dari latar belakang keluarga yang berbeda. Bahkan mungkin bagi sebagian orang tidak saling beririsan atau bahkan bertentangan. Bahkan sampai ada usulan untuk dibuat persyaratan-persyaratan. Sungguh diluar kemampuan berfikir ku, menyuruh orang jauh-jauh datang hanya untuk menyepakati persyaratan untuk sebuah kata "terima". Sempat terlontar dari lisanku pada abi "kalau akhirnya akan ditolak, jangan suruh dia datang ke Pekanbaru, kasian" abi bilang "iya, nantikan ketemu dulu, diskusi, baru ketauan diterima atau enggak" bagi ku saat itu, kedatangannya tanpa kepastian adalah sebuah ketidak enakan. Tapi mungkin baginya hal itu adalah sebuah perjuangan. Bahkan sampai hari kedatangannya dia belum tau akan dinamakan apa hari itu, khitbah atau silaturahmi? 

Setelah diskusi panjang dengan orang tua, ternyata ditemukan banyak hal yang saling beririsan. Kita tidak seberbeda itu. Dan akhirnya hari kedatangannya bisa diberi judul khitbah. 
Alhamdulillah, jawaban nya adalah "diterima" setelah sebelumnya melewati hari-hari panjang bersama dengan proses penyelesaian skripsi, aku juga turut mengobservasi dan mewawancarai banyak orang untuk bisa mengumpulkan sebanyak-banyaknya alasan. 

Salah seorang narasumber ku yang turut menguatkan,  jelas adalah temannya lelaki ini, saat itu mungkin pertanyaan-pertanyaan ku lebih seperti wawancara untuk sebuah organisasi, sampai dia nanya "Emang Hilmy mau ikut organisasi apa? Tumben. Biasanya ga suka" lalu ku jawab dengan sebelumnya memastikan bahwa dia langsung hapus chat dan tidak bilang ke siapa-siapa.  setelah di iyakan, kubilang "organisasi rumah tangga"  pertanyaan terakhir ku pada temannya "kalau misalnya dia ngelamar adiknya kamu, diterima gak?
"Diterimalah, gua kan udah lama temenan sama dia, tau lah dia gimana" 
Oke, verified. Lelaki ini orang baik, Setelahnya aku gak tanya-tanya ke temannya lagi. Kenapa aku tanya gitu? Soalnya dulu umiku terima abi setelah nanya ke teman perempuan yang cukup kenal abi "kamu kalau dilamar sama Ayat kamu terima ga?" Karena si akhwat jawab iya dengan semangat, akhirnya umi putusin buat terima. Lucu sih ini, eh setelah nikah jadi Malu kalo ketemu temennya itu.

Alhamdulillah setelah hampir satu tahun pernikahan, dan dikaruniai seorang anak nan lucu menggemaskan (Masyaallah) aku bersyukur akhirnya memilih menikah. Karena ternyata suamiku benar, yang aku takutkan akan terjawab nanti. Dan ternyata yang aku takutkan tidak ada, semuanya hanya ketakutan-ketakutan dalam fikiranku saja. 

Allah berikan aku pendamping hidup lebih baik dari apa yang aku harapkan. Aku bersyukur aku menikah bukan karena cinta, tapi karena percaya. Percaya kalau Allah gak mungkin kasih teman hidup yang kapasitasnya jauh dibawah aku, gak mungkin yang gak sebaik aku.

Teman hidup ku ini tidak hanya baik agama dan keluarganya, tidak hanya terpelajar dan pembelajar, tidak hanya pengertian dan sabaran,  juga bisa berbagi peran dalam mengurus masalah kerumah tanggan (mencuci, memasak, membersihkan rumah, menganti popok bayi dll). 

Perkara cinta jangan ditanya, semua hal yang kami lakukan sehari-hari bersama adalah bentuk cinta. 

Dulu setelah beberapa hari menikah, aku memuntahkan semua cerita kesal, marah dan kecewa padanya lewat sebuah tulisan yang aku sengaja tulis sejak proses akan menikah ini dimulai, tulisan berlembar-lembar itu merangkum semua perasaanku yang sebenarnya saat itu aku sudah lupa. Aku bersyukur menuliskanya, sebagai surat cinta pertama untuk suamiku. Akhirnya setelah menikah tidak ada emosi yang tersisa, meski hanya tersampaikan lewat tulisan. 

Oh iya, untuk banyak tanya dari teman-teman tentang pertemuan kami. Sebenarnya kami sudah berteman sejak aku duduk di bangku SMP, hanya saling follow-followan, dari FB, Twitter, BBM sampai Instagram. Maklum SMP adalah masa lagi alay-alay nya. Kami berteman tapi tidak dekat, hingga akhirnya naik gunung bareng. Itu bisa teman-teman baca dipendakian Merbabu.
first sight, aku sih biasa aja liatnya. Dia abis naik gunung Semeru sebelum ke Merbabu, jadi terlihat item, kucel, dekil. Waktu itu juga dia lagi gemuk-gemuk nya. Gak ada jatuh cinta pandangan pertama, serius deh. 
Kalau dia ke aku kayanya iya ✌ tapi kalau sekarang aku dibuat jatuh cinta terus. Huft !

Terimakasih sudah membaca ! Semoga bisa diambil hikmahnya, terutama dalam mengambil keputusan akan menikah. Selain mencari tau tentang calon teman hidup, tentu memohon petunjuk dari Allah agar diberikan pilihan terbaik juga jangan sampai luput dari perhatian, dulu aku mengultimatum ke diri sendiri untuk jawaban dari istikharah ku (kalau proses ini semakin sulit berarti bukan jodoh, kalau dimudahkan berarti jodoh) Alhamdulillah Allah mudahkan. Diantara ikhtiar lain aku membaca cukup banyak buku, membumikan harapan, wonderful copel series karya pak cah, buku-buku karya mas gun dan mengulik highlight Instagram nya tentang pernikahan, sewindu (cinta itu soal waktu) karya Tasaro gk, dan beberapa buku lain yang disodorkan umi untuk aku baca yang aku lupa judulnya. Aku juga menonton video ustadz Khalid yang judulnya mahkota pengantin meski belum selesai ditonton sampai sekarang.

 nayatanya, berumah tangga tidak semudah melepas status jomblo. Karena nyatanya hidup berdampingan dengan orang baru dalam hidup kita, butuh  banyak penyesuaian. butuh ilmu yang tidak bisa kita kahatamkan. Dan setiap hari dalam pernikahan adalah pembelajaran.

Semoga setiap kita dipertemukan dengan takdir baik, atas ikhtiar-ikhtiar baik kita. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menikah, bukan karena cinta"

Posting Komentar