Aziz, Faqih, Hilmy, Ayu, Aku, Igoy, Rama |
12 Agustus 2018, Usai solat subuh aku dan Ayu kembali masuk ke tenda, untuk meringkuk lagi dalam SB yang hangat. Tidak berapa lama Faqih mamanggil kami semua, mengajak untuk naik keatas bukit sabana. “ayoo ke bukit sana, liat sunrise. Udah gak dingin nih” Ayu bangkit lebih dulu, keluar dan merenggangkan otot bersiap naik ke bukit. “udah telat qih mau sunrise, udah terang” jawab ku membuka resleting tenda lebar-lebar. “belum telat, Ayo” akhirnya aku ikut juga meski sepertinya sudah terlambat. Ternyata bukit yang kami naiki tidak begitu tinggi dan terjal. Sebentar saja kami sudah sampai. Tepat saat matahari memedarkan cahaya keemasannya. Indah sekali. Sudah banyak juga pendaki lain disana, menikmati anggunnya mentari pagi itu. Aku dan ayu duduk menghadap matahari yang perlahan merambat naik. Sambil sesekali mengambil foto dan video.
Datang dan perginya matahari selalu meninggalkan kesan mewah dan menakjubkan. Entah bagaimana cara tuhan bisa membuat seluruh manusia takjub pada hal sederhana ini. Menyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Aku juga, selalu bahagia bisa melihat betapa indahnya lukisan alam yang Allah sajikan sepersekian menit itu. Dia selalu bisa membuat aku jatuh cinta pada tuhan yang menciptakannya. Keindahanya akan berbeda jika dilihat tidak langsung dengan mata. Seperti saat aku memandangnya berkali-kali diketinggian Merbabu. Selalu membuat aku jatuh cinta.
Setelah matahari cukup tinggi kami kembali turun, teman-teman yang lain sudah keluar dari tenda. ingin ke bukit katanya. Ah, sayang sekali. Yang cantik menawan baru saja pergi sepeninggalan kami. Akhirnya kegiatan pagi itu diisi dengan masak-masak dan ngeteh.
Selanjutnya perjalanan pulang kami dimulai pukul 10 pagi, usai beberes dan foto bersama, kami kembali meniti jalan landai yang membelah sabana di gunung merbabu ini. Masih seperti sebelumnya, diawal-awal perjalanan, kami lebih banyak berhenti untuk mengabadikan moment-moment terakhir di gunung yang sudah menemani cerita perjalanan kami 3 hari belakangan. Hingga sampailah kami pada turunan ekstrim selanjutnya, dengan debu yang mengepul tidak hentinya, bekas pijakan pendaki lain. Pijakan yang tidak tepat akan membuat kami tergelincir pada tanah yang menungkik kebawah. Lalu harus bersiap mencari pegangan agar tidak terjatuh.
Menurut ku berjalan turun adalah tentang bagaimana kamu percaya pada tanah yang akan kamu pijak dan kaki yang menopang tubuh dari kuatnya gravitasi kebawah. Juga tentang ditanah mana kamu akan berhenti berpijak untuk mengistirahatkan kaki dan kembali mengambil ancang-ancang untuk berjalan. Seberat apapun trek turun, aku akan lebih suka. Dari pada menopang tubuh dan beban tas berat, berjalan naik dengan nafas tersenggal.
Aku, Igoy dan Rama berjalan duluan, saling memberi aba-aba awas, pijakan licin, pilih jalur yang tepat. Dan melihat kebelakang, menerka sudah sampai mana teman-teman yang lain berjalan. Hingga di tempat camp selanjutnya. Aku, Rama dan Igoy berhenti melepas alas kaki dan mengeluarkan pasir nakal yang masuk dalam sepatu kami selama perjalanan tadi. Sambil menegak minum yang harus kami hemat sampai ke bescamp. Karna jalur selo adalah jalur tanpa sumber air. Baru kali ini aku lihat betapa para pendaki sangat pelit untuk berbagi air. Iya, baru kali ini. Kata teman ku, karna di selo semua orang butuh air. Jika harus mencuri, maka yang pasti orang-orang curi adalah air.
Cukup lama kami duduk besantai disana melihat orang-orang dengan kesibukannya ditenda dan pendaki yang kelelahan sehabis menaklukan jalanan curam turun. Ditemani juga dengan suara teriakan-teriakan dari pendaki diatas sana yang sedang menikmati perosotan pasir untuk sampai keposisi kami. Teriakan-teriakan itu terasa seperti sedang berada dikawasan wahana bermain. Akhirnya Hilmy dan Faqih datang, mengambil posisi istirahat yang nyaman lalu menegak air yang terasa lebih nikmat dari biasanya. Mereka bilang Ayu dan Aziz masih jauh dibelakang. Disana kami cukup lama saling diam dan sesekali mengobrol. Sampai akhirnya mereka bilang “duluan gih, kita aja yang nungguin Ayu sama Aziz. Sekalian ningalin air”. Sebenarnya tidak enak juga harus meninggalkan teman sependakian yang kesulitan berjalan turun hanya untuk sampai ke bascamp duluan.
Menurutku, berjalan bersama itu harusnya memang beriringan. Bukan ingin sampai duluan atau menunggu didepan.Cukup lama aku diam, lalu akhirnya meng’iyakan. Untuk jalan duluan.
Kata igoy kita tinggal harus melewati satu turunan ekstrim lagi lalu kemudian masuk hutan dengan jalanan landai dan sesekali menurun. Baiklah aku bertambah semangat mendengar “hutan dan jalanan landai” jelas pasti udaranya sejuk dan tidak berdebu. enak untuk jalan santai atau berlari-lari kecil dan sedikit melompat sambil berpegangan pada batang-batang kayu yang kokoh. Lucunya, aku malah terpeleset saat sudah dihutan. Tulang kering kaki ku membentur batang yang ada didepan, dan hampir terseret jalanan menurun pula. Untungnya cepat berpegangan pada batang kayu. Sedikit pedih, tapi kurasa hanya akan meninggalkan luka kecil manja.
Kami hanya sesekali istirahat dan sekali meneguk air hingga tiba dipersimpangan yang ada abang jual baksonya. Wah pertanda bascamp semakin dekat. Motivasi Igoy dan Rama adalah segera bertemu dengan Es teh. Kalau aku? bertemu air yang banyak!
Sekitar pukul 2 siang lewat sedikit, kami tiba di bascamp Selo. Senang sekali. Tujuan awal yang kucari adalah kamar mandi. Ingin membersihkan diri dari debu-debu lucu ini. Ternyata aku malah parno ketemu air yang terlalu dingin. Pedih rasanya dikulit. Setelah bebersihan secukupnya ternyata Faqih dan Hilmy sudah sampai juga di Bascamp dan sudah jajan es pula. Sambil menunggu Ayu dan Aziz percakapan tentang Andong belum selesai dibahas. Aku masih mempertimbangkan estimasi waktu yang sudah terlambat dari semestinya, keadaan hilmy yang sempat ngedrop saat di gunung. Ah, ga perlu dipaksain lah, masih bisa lain waktu dengan teman yang lain. Walaupun Hilmy bilang dia gak kenapa-napa, kalau aku mau naik dia bakal tetap nemenin. Sampai nawarin ke andong naik motor. Dengan catatan harus ke Salatiga dulu. Terlalu memaksakan. Ngabisin waktu dan kasian badan kita yang sudah kelelahan 4 hari 3 malam di Merbabu. Dan akhirnya mendaki andong resmi dibatalkan.
Destinasi perjalanan ku selanjutnya adalah Jogja. Sekalian nginep semalam dirumah Ayu yang kebetulan tinggal disana, dan Aziz yang pasti mengantar Ayu pulang. Yasudah sekalian aja main bareng lagi. aku ajak Igoy dan Faqih untuk ikut juga, hanya sehari. mereka bilang bisa ikut, tapi sebelumnya harus memastikan tiket kereta dulu. “Aku ga diajak ke Jogja?” tanya Hilmy. Aku diam “ikut ke Jogja yuk” kataku kemudian. Dia diam “satu, dua, tiga. Ga jadi” aku berlalu pergi. Ya kalo main bareng lagi pasti diajaklah semuanya.
Usai solat Ashar berjamaah kami kembali berkemas untuk pulang. Pulang kekediaman sementara kami. Pulang ketempat kami bisa beristirahat dengan nyaman tanpa kedinginan dan kelelahan lagi. tempat pulang kami sehabis dari merbabu adalah Salatiga.
Mobil bak mengantar kami turun dari kawasan selo menuju terminal Boyolali. Angin kencang dan udara sejuk ketinggian kaki gunung merbabu meninggalkan banyak cerita yang nanti pasti akan aku kenang, meninggalkan cerita yang nanti pasti akan aku rindu untuk ingin mengulangnya lagi. cerita tentang Merbabu 4 hari 3 malam kali ku, adalah pendakian pertama ter-lama, pendakian pertama ter-savety, pendakian pertama ter-nyaman dan ter-santai. Bersama orang-orang baik yang memberikan banyak ilmu meski tidak sedang mengurui. Terimkasih merbabu, sudah mngizinkan aku berpijak padamu.
harapan ku diliburan kali ini terhujud dengan sangat romantis dan dramatis, bersenda dengan Alam. Ah, bermain dengan alam akan selalu meninggalkan kesan indah.
0 Response to "Merbabu day 4"
Posting Komentar