11 Agustus 2018, Pagi harinya. Masih jam 5, Ayu sudah membuka tenda lebih dulu, keluar pergi entah kemana, Faqih sedang solat didepan tenda. usai Faqih beranjak dari solatnya, Ayu segera mengambil posisi solat. Sebenarnya aku masih ingin menghangatkan tubuh ditenda. Tapi segera keluar melawan dingin untuk solat subuh.
Pagi itu Ayu semangat sekali, ingin masak. Mungkin ingin menghangatkan diri dekat perapian. Mau kupas-kupas apa saja, katanya. Intinya bergerak untuk mengusir dingin. Aku segera masuk lagi ke tenda untuk menghangatkan diri dengan SB. Lalu mengunci tenda rapat-rapat.
Pagi itu ada diskusi tentang apakah kita akan ngcamp lagi atau langsung turun via selo. Faqih bilang ingin segera turun dan harus segera kembali ke Bekasi karna sudah cukup lama tidak puang ke rumah. Tapi Aziz bilang “nikmatin aja dulu perjalannya” kita liat nanti gimana, kalo cepet kita langsung turun, kalo lama kita ngecamp lagi di sabana 2 Selo.
Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan jam 9 (rencananya) ternyata seperti yang sudah-sudah, jam 11 lewat, kami baru siap untuk kembali melangkah. Rencana tinggalah sebuah rencana, tidak apa, yang penting kita tetap berjalan bersama sampai kepuncak.
Trek selanjutya adalah sabana luas dengan pijakan rumput, tetap menanjak, ditemani panas terik matahari siang. lelah perjalanan siang itu selalu terbalas puas saat menghirup udara dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling sabana dan hamparan awan lembut serupa marsmellow. Setiap ada pohon kami selelu menepi untuk beristirahat dan berteduh sejenak. Sambil berbincang banyak hal. Hari ini rasanya adalah perjalanan tersantai setelah 2 hari sebelumnya. Pukul 12.30 kami sudah sampai disabana 3 pertanda puncak Triangulasi semakin dekat. Waktu kami, lebih banyak habis untuk berfoto dan nongkrong ketimbang melanjutkan perjalanan. Beginilah memang harusnya jika ingin bermain dengan alam, santai saja. Jangan terburu-buru. Nikmati setiap suguhan indah ciptaan tuhan. Karna untuk menyaksikanya secara langusng tidaklah mudah. Kamu butuh perjuangan dan pengorbanan, maka jangan terburu-buru untuk membungkusnya pulang menjadi sebuah kenangan.
Jam 3 sore kami tiba dipuncak triangulasi. Lega sekali rasanya bisa berdiri disana, menyaksikan hamparan awan, sabana, dan merapi yang masih tetap gagah berdiri. Mataharipun masih gagah diperaduannya bersiap untuk memamerkan kilau keemasannya mejelang senja. Udara dingin makin terasa diketinggian sana. Meski terik matahari masih setia menemani. Hingga pukul 5 sore kami bertahan diatas sana. Nyemil, ngobrol, berfoto dan solat. Semakin sore pendaki lain semakin banyak berdatangan, jelas ingin mengabadikan manisnya sunset di puncak Merbabu.
Sebelum matahari benar-benar undur diri, kami lebih dulu turun untuk bersiap mendirikan pemukiman kecil lagi di Sabana 2 selo. Aku dan Igoy berjalan duluan, lebih tepatnya meloncat dari satu pijakan ke pijakan lain, kadang berlari pelan, kadang harus tertahan memilih langkah yang tepat. Teman-teman yang lain jauh tertinggal dibelakang. Mungkin karna saling tunggu dan sangat berhati-hati dalam melangkah. Suasana mulai gelap saat aku dan Igoy tiba di kerumunan tenda yang pertama. Dari atas terdengar teriakan Hilmy menyebut nama Igoy dan sabana 2. Setelah membalas teriakan itu aku dan Igoy memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke sabana dua dan mendirikan tenda lebih dulu.
Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya udara tetap saja dingin menusuk tulang, aku dan Ayu harus solat magrib dan isya sambil bergidik menahan dingin diluar tenda. meski sebenarnya bentangan langit penuh bintang dan galaksi, indah sekali malam itu, tapi resiko menahan dingin tidak sanggup untuk kami lawan. Bahkan untuk makan malam saja hanya sedikit resleting tenda yang kami buka untuk menahan angin masuk. lalu segera menutup lagi tenda usai makan.
Bersambung...
Pagi itu Ayu semangat sekali, ingin masak. Mungkin ingin menghangatkan diri dekat perapian. Mau kupas-kupas apa saja, katanya. Intinya bergerak untuk mengusir dingin. Aku segera masuk lagi ke tenda untuk menghangatkan diri dengan SB. Lalu mengunci tenda rapat-rapat.
Pagi itu ada diskusi tentang apakah kita akan ngcamp lagi atau langsung turun via selo. Faqih bilang ingin segera turun dan harus segera kembali ke Bekasi karna sudah cukup lama tidak puang ke rumah. Tapi Aziz bilang “nikmatin aja dulu perjalannya” kita liat nanti gimana, kalo cepet kita langsung turun, kalo lama kita ngecamp lagi di sabana 2 Selo.
“perjalan mendaki itu memang bukan tentang sampai puncak lalu cepat turun, tapi tentang menikmati alam”.Tak berapa lama ku dengar mereka menonton video jurnal fiersa besari tentang pendakiannya ke Merbabu dengan jalur yang sama seperti yang kami lewati. Naik lewat Suwanting dan turun lewat Selo.
Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan jam 9 (rencananya) ternyata seperti yang sudah-sudah, jam 11 lewat, kami baru siap untuk kembali melangkah. Rencana tinggalah sebuah rencana, tidak apa, yang penting kita tetap berjalan bersama sampai kepuncak.
Trek selanjutya adalah sabana luas dengan pijakan rumput, tetap menanjak, ditemani panas terik matahari siang. lelah perjalanan siang itu selalu terbalas puas saat menghirup udara dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling sabana dan hamparan awan lembut serupa marsmellow. Setiap ada pohon kami selelu menepi untuk beristirahat dan berteduh sejenak. Sambil berbincang banyak hal. Hari ini rasanya adalah perjalanan tersantai setelah 2 hari sebelumnya. Pukul 12.30 kami sudah sampai disabana 3 pertanda puncak Triangulasi semakin dekat. Waktu kami, lebih banyak habis untuk berfoto dan nongkrong ketimbang melanjutkan perjalanan. Beginilah memang harusnya jika ingin bermain dengan alam, santai saja. Jangan terburu-buru. Nikmati setiap suguhan indah ciptaan tuhan. Karna untuk menyaksikanya secara langusng tidaklah mudah. Kamu butuh perjuangan dan pengorbanan, maka jangan terburu-buru untuk membungkusnya pulang menjadi sebuah kenangan.
Jam 3 sore kami tiba dipuncak triangulasi. Lega sekali rasanya bisa berdiri disana, menyaksikan hamparan awan, sabana, dan merapi yang masih tetap gagah berdiri. Mataharipun masih gagah diperaduannya bersiap untuk memamerkan kilau keemasannya mejelang senja. Udara dingin makin terasa diketinggian sana. Meski terik matahari masih setia menemani. Hingga pukul 5 sore kami bertahan diatas sana. Nyemil, ngobrol, berfoto dan solat. Semakin sore pendaki lain semakin banyak berdatangan, jelas ingin mengabadikan manisnya sunset di puncak Merbabu.
Sebelum matahari benar-benar undur diri, kami lebih dulu turun untuk bersiap mendirikan pemukiman kecil lagi di Sabana 2 selo. Aku dan Igoy berjalan duluan, lebih tepatnya meloncat dari satu pijakan ke pijakan lain, kadang berlari pelan, kadang harus tertahan memilih langkah yang tepat. Teman-teman yang lain jauh tertinggal dibelakang. Mungkin karna saling tunggu dan sangat berhati-hati dalam melangkah. Suasana mulai gelap saat aku dan Igoy tiba di kerumunan tenda yang pertama. Dari atas terdengar teriakan Hilmy menyebut nama Igoy dan sabana 2. Setelah membalas teriakan itu aku dan Igoy memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke sabana dua dan mendirikan tenda lebih dulu.
Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya udara tetap saja dingin menusuk tulang, aku dan Ayu harus solat magrib dan isya sambil bergidik menahan dingin diluar tenda. meski sebenarnya bentangan langit penuh bintang dan galaksi, indah sekali malam itu, tapi resiko menahan dingin tidak sanggup untuk kami lawan. Bahkan untuk makan malam saja hanya sedikit resleting tenda yang kami buka untuk menahan angin masuk. lalu segera menutup lagi tenda usai makan.
Bersambung...
0 Response to "Merbabu day 3"
Posting Komentar