“Anak-anakku harus sejahtera” diulangnya kalimat itu beberapa kali “Alhamdulillah Allah ijabah, Allah permudah” tutur perempuan yang duduk disebrang ku saat itu. Hari itu, tepat 9 Oktober 2018 dia si perempuan mandiri itu menginjak usia ke 47 tahun, usia yang tidak lagi bisa dibilang muda. Pertanda akan semkain singkat waktunya membersamaiku, mendengar keluh kesahku, menasihati dan mengomentari segala yang aku lakukan.
Beberapa teman pernah bertanya, dari siapa aku dapati hobi main ke gunung, mudah bergaul dan sikap maskulin ini? kedua orang tuaku tidak ada yang suka naik gunung, bahkan awalnya tidak mengizinkan. Tapi aku tau betul sikap maskulin dan mudah bergaul ini yang akhirnya berkembang menjadi kesenangan suka main ke gunung aku dapati dari dia, wanita yang kini menginjak usia 47 tahun itu, dia yang biasa aku panggil ummi.
Beberapa bulan belakang dia lebih banyak bercerita tentang kehidupannya, tetang apa yang ia rasakan menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu. Seolah aku sudah menjadi teman baginya, bukan sekedar seorang anak. Semakin aku banyak tau, semakin aku sadar, perkara menjadi seorang istri dan ibu bukan hal yang mudah. Nanti jika aku menjadi seorang istri dan ibu, ummi adalah guru pertamaku dalam beradaptasi dengan dua status itu.
Dan aku semakin sadar, tidak ada satupun cara didunia ini yang bisa membalas jasa seorang ibu, selain dengan menjadi anak yang shalih baginya, menjadi alasan agar ia masuk kedalam syurgaNya.
Beberapa kali dia pernah bercerita tentang dirinya yang sejak kecil harus hidup tanpa sosok laki-laki tempat bermanja, tanpa sosok laki-laki yang bisa disebut ayah. Yang akhirnya membuat dia berinisiatif untuk bisa melakukan semua hal. Iya, semua pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Membuat kandang ayam bersama tetangga, bertukang, berkebun, beternak, membenarkan saluran listrik dan air yang bermasalah, memperbaiki alat elektronik yang rusak, menyetir dan banyak lagi. aku juga masih ingat dulu saat SD dia membuatkan aku tempat tidur bertingkat dari kayu. Ini sungguhan, banyak yang tidak percaya, aku juga ikut membantunya menggergaji dan memaku saat merakit tempat tidur bertingkatku.
Masalah pekerjaan wanita jangan ditanya. Dia ahli dalam banyak hal, menjahit pakaian (hingga saat ini, beberapa pakaian aku dan saudaraku masih sering dibuatkan olehnya), memasak berbagai jenis makanan (bahkan lidahnya sangat sensitif terhadap masakan yang kurang pas), berbenah rumah dan semua hal yang berkaitan dengan kerumah tanggaan dia ahlinya. hampir semua keteramppilan yang ia miliki ia pelajari sendiri, dan aku bersyukur diantara beberapa keterampilan yang dia punya, aku mewarisinya.
Suatu ketika dia pernah berkata “Nab, jadi perempuan itu harus bisa semua hal, bahkan untuk pekerjaan laki-laki sekalipun. Agar nanti jika seandainya kita hidup tanpa laki-laki dirumah, kita tidak menyusahkan orang lain” dia pernah bilang juga“jika nanti seandainya suami meninggal lebih dulu, istri bisa menghasilkan uang dari keterampilan yang dipunya”
Dia adalah sosok wanita yang cuek tapi cerewet, mudah bergaul, peka dan sangat perasa. Perasa seperti sosok ibu pada umumnya. Hanya saja sikap cueknya membuat aku yang dulu saat masih kanak-kanak tidak mengerti bagaimana mengartikan rasa sayang dari seorang ibu. Bahkan saat tamat MA aku pernah bertanya, lebih tepatnya menghakimi atas ketidak tauannya terhadap banyak prestasi yang aku peroleh selama dipesantren “ummi tau gak aku pernah jadi ini... pernah nampil ini.. pernah mewakili ini.. pernah ini dan pernah, pernah lainya” dia hanya tertawa dan bilang “tau, kan kamu pernah cerita” aku malu sendiri dibuatnya. Padahal aku bukan tipe anak yang senang curhat, tapi seingatku memang tentang beberapa hal aku bercerita singkat jika saat dijenguk cukup lama orang tuaku bertanya tentang kegiatan yang sedang aku lakukan. Dan hal itu sangat jarang sekali terjadi, karna bisanya saat orang tuaku kepesantren lebih sering datang mengantar kebutuhan, lalu langsung pergi lagi. Sepertinya “tau” yang dia maksud tidak sedalam apa yang aku rasa saat pernah pernah yang aku ceritakan.
Bisa dibilang dia saklek pada beberapa hal, dulu waktu SMP aku pernah bertanya tentang “suka pada lawan jenis” dia bilang “itu dari setan” setelahnya aku tidak pernah bercerita apapun, hingga kuliah. Pada lelaki yang kupanggil Abi juga “tidak ada pengecualian terhadap berteman dengan lawan jenis” sejak saat itu hingga kini aku beranggapan, masalah rasa dihati bukan konsumsi kita (aku dan orang tua). Biar aku saja yang tau. Kecuali saat orang tuaku benar-benar harus tau. Tapi sekarang saat aku banyak mengkonsumsi buku-buku dan bisa berargumen tidak atas opiniku sendiri tentang “rasa” ummi lebih bisa menerima meski sesekali tidak setuju dan akhirnya diam, mendengarkan dan menerima.
Kini saat usia kami sama-sama semakin beranjak tua, aku sadar satu hal. Dia lebih banyak bercerita dan ingin didengarkan ceritanya. Beberapa hal yang ia ceritakan, aku sudah mendengarnya beberapa kali. Tanpa sadar dia sering mengulang cerita yang sama. Dia juga lebih sering minta ditemani kemana-mana, minta diantar meski ada supir yang menyetir. Aku hanya duduk disebelahnya menemani, ngobrol, mendengarkan ceritanya. Aku berfikir beberapa hal, mungkin dia ingin lebih banyak menghabiskan waktu denganku, ingin bercerita banyak hal yang dulu tidak bisa ia ceritakan saat aku masih kanak-kanak dan belum mengerti bagaimana perasaanya. Ingin lebih lama bersama, setelah dulu aku sulit sekali dijumpai saat mondok, setelah sekarang aku merantau jauh darinya. Dan mungkin tidak lama lagi aku benar-benar akan sibuk dengan kehidupanku sendiri, akan lebih jauh lagi darinya.
Aku sering tiba-tiba sedih jika harus mengingat bahwa dalam sebuah keluarga akan ada masa, kamu meninggalkan keluargamu. Lebih tepatnya meninggalkan orang tuamu, untuk tinggal dalam lingkungan keluarga baru, lalu nanti kamu juga akan merasakan ditinggalkan oleh anak-anak yang kamu besarkan, kamu asuh dan dengan susah payah kamu didik.
Jika hidup ini memang tentang datang dan pergi. Aku ingin pada setiap yang pernah hadir, pada setiap yang pernah aku singgahi hidupnya, untuk menjadi seorang yang berarti baginya.
Terutama untuk dia, seorang wanita yang aku dititip dalam rahimnya, yang aku dibesarkan dengan kesabaranya, yang aku belajar banyak tentang ketulusan, bagaimana mendidik, dan pengabdian pada keluarga.
Aku ingin bilang, tidak ada alasan aku untuk tidak mencintai dia. Aku ingin bilang terimakasih sudah menjaga dan merawat mahluk kecil yang dulu sangat menyusahkan bahkan mungkin sering menyakiti dia tanpa sengaja. Hingga kini si kecil itu tumbuh dewasa dalam pengawasannya. Tidak ada kata yang pantas selain terimakasih dan maaf. Jika tuhan mengizinkan kita bersama hingga tua, aku berjanji akan bergantian dengan posisinya dulu, merawatnya. Tinggallah berapa lamapun kamu mau bersamaku, datanglah kapanpun kamu mau. Aku akan dengan senang hati menemani hari-hari tuamu. Sekalipun nanti kamu menjadi nenek yang menyebalkan bagi anak-anakku. Aku harus ingat, aku dulu juga adalah anak yang menyebalkan. Aku tau, setua apapun wanita, ia pasti akan selalu ingin dimanja dan dimengerti. Bermanjalah padaku, aku ingin selalu bisa mengerti kamu.
Aku selalu ingat ucapanya saat aku kecil dulu, bahwa kamu akan diperlakukan sama sebagaimana kamu memperlakukan orang lain. Seperti saat dia selalu mengenalkanku pada konsekuensi atas apa yang aku lakukan. Aku juga nanti, jika sampai pada masa tua, mau diperlaukan baik oleh anak-anakku.
Untuk dia wanita mandiriku, terimakasih sudah menjadi banyak hal dalam hidupku. Kamu adalah hal teristimewa yang tuhan hadirkan dalam hidup seorang laki-laki yang aku panggil Abi dan juga dalam hidupku. Selamat sudah jadi yang teristimewa !
0 Response to "Wanita Istimewa"
Posting Komentar