Menjadi Anak


Aku anak ke 3 dari 5 bersaudara. Diantara kami berlima sepertinya hanya aku sendiri yang sedikit berbeda dari 4 saudaraku. kata temanku “lebih liar” maksutnya bukan brutal dan ga tau aturan. Tapi, lebih suka berada diluar rumah dan bermain bersama teman dibanding ke4 saudara ku yang cendrung sibuk dengan kesenangannya. Mengurung diri dikamar dan sedikit pemalu dan hemat bicara jika diluar rumah. Kalau kata ummi, aku “teralu agresif” bukan celahku saat itu “aku punya sosial yang baik, kaya ibunya. Ciee besar hati” goda ku pada ummi sambil tertawa.

Dulu sepulang aku naik gunung pertama kali. Ummi sering cerita ke orang-orang tentang ke nakalanku. ummi bilang aku keras hati (sedih sih sebenarnya). saat itu aku akui, aku salah. pergi izin main ke rumah teman nyatanya naik gunung. Hingga izin yang kedua kali dengan lobi-lobi yang sangat lama dan banyak alasan akhirnya aku diizinkan mungkin karna (dilarang atau diizinin dia bakal tetep keras hati pergi) akhirnya yasudahah biarkan, meski sampai sekarang aku ga tau alasan aku diizinkan saat itu. Sampai saat ini setiap kali aku bilang aku mau naik gunung, abi selalu support. tapi aku tau itu Cuma buat nyenengin aku doang. Katanya “ayo sama abi” sampai bertahun-tahun ga pernah jadi. Beda ceritanya kalo aku naik gunung di jawa, aku tinggal pergi dan sampai di puncak kirim foto “aku lagi digunung” selalu begitu akhirnya lama-lama orang tua ku sudah terbiasa dengan kelakuan anaknya yang nomor 3 ini.

Sama ceritanya seperti hari ini aku diizinkan keluar kota nyetir mobil sendiri, awalnya juga karna aku yang sok ke-pedean. Saat mudik lebaran, aku selalu menawarkan diri untuk nyetir gantiin sepupu ku yang jadi supir. “bang ngantuk? Capek? Sini aku yang bawa” aku ulang berkali-kali sampai dia bosan dan akhirnya tengah malam saat sepupuku ngantuk berat aku diizinkan bawa. Saat itu kami iring-iringan 2 mobil, kata om mobil satu lagi “nab, kecepatan kita maksimal 80 ya, kalau kecepetan dimm aja” aku mengiyakan, karna jalanan lengang ternyata mobil depan sampai kecepatan 100, sepupuku yang tadinya ngantuk ga jadi ngantuk karna takut liat gayaku bawa mobil. Bentar-bentar dikomentari, disuruh dimm, disuruh klakson, dan lainnya. Tepat jam 2 malam sampai rumah “om, tadi kecepatanya 100 lewat” omnaya Cuma ketawa sambil ngacungin jempol. Dan beberapa hari setelahnya aku diizinin ke Rohul perjalanan 6 jam dari kota ku untuk menghadiri nikahan teman. Meski awalnya ummi khawatir dan minta ada yang nyupirin “nanti kalo ban bocor atau kenapa-napa gimana?” Katanya “kalo udah kepepet semuanya pasti bisa dilakuin” kataku sok yes.

Yang namanya orang tua, sedewasa apapun kita, bahkan meski nanti sudah punya rumah tangga sendiri pasti akan selalu khawatir pada anak-anaknya, karna khawatir adalah buah dari cinta. Iya gasih (?) menurutku begitu.

Aku terlalu sering melakukan hal-hal yang membuat orang tua ku khawatir. Tapi, aku selalu bilang “gapapa, bisa kok, santai aja” tapi dengan bukti-bukti kalau aku memang bisa ngelakuin hal-hal yang orang tuaku ragukan dan dengan catatan tetap mengikuti koridor syariat yang ada. Jadi ingat dulu sejak kecil juga sering begitu, main jauh, majat-manjat dan lari-larian. Dan ummi sering bilang “pergilah, nanti kalo kenapa-napa jangan nangis, jangan panggil-panggil ummi”

Menurutku menjadi anak,
kita selamanya gak akan bisa melakukan hal-hal yang gak biasa. sampai kita benar-benar buktiin kalau kita bisa. 
Itu yang sejak lama aku tanamkan hingga di pendakian gunungku yang ke 7 saat ini. Dan aku ga pernah mau ngeluh didepan orang tua atas kesulitan yang aku rasain. kalau memang aku yang berambisius untuk melakukan hal demikian. Mungkin terlihat seperti “kekanak-kanakan” terlalu memaksakan kehendak. Menurutku ya gapapalah, toh aku memang seorang anak yang akan selalu terlihat kekanak-kanakan dimata kedua orang tuaku.

Aku keras dan sering memaksakan diri hanya pada hal-hal yang memiliki dampak positif meski kadang tidak dimata orang tuaku. Biasanyapun hal-hal yang tidak terlalu berdampak negatif pada kehidupanku, ibadah dan lainnya. Paling bahaya ya mungkin berdampak kematian, tapi bukankah dalam kondisi apapun kita semua akan mati?

Hari ini banyak teman-teman yang nanya, heran. kok inab gampang banget diizinin kesana-sini, diizinin ini-itu. Jawabnya karna pada awalnya aku yang berkeras hati dan membuktikan kalo aku bisa. Aku udah gede. Udah mandiri. Bisa sendiri. Kadang, ada kalanya berkeras hati itu baik. Tapi tidak pada semua hal. Dan tetap ada rambu-rambu yang harus kita patuhi.

Menjadi anak, harusnya kita senang dikhawatirkan, senang dimarahi, senang dikomentari. Dari sanalah akhirnya kita tau, ada yang peduli, ada yang mencintai.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menjadi Anak"

Posting Komentar