Catatan pendakian Merapi Sumatra Barat

sebenernya pendakian ini udah di lakuin dari beberapa bulan lalu, pertengahan Mei tepatnya. Cuma, berhubung saya males-malesan nulisnya, jadilah tulisan ini baru bisa tayang sekarang.

Langsung aja kita simak catatan pendakian si gagah Merapi dengan ketinggian 2.891 mdpl via pasar koto baru.

Let’s cekodot,....

Saya mulai perjalan ini dari sebuah kota kembang dengan mayoritas penduduk asli ocu, Bangkinang. Oh, iya sebelumnya perlu di paparkan bahwa pendakian ini di lakukan tanpa izin dari keduah belah pihak orang tua kami saya dan seorang rekan saya Zila. Orang tua kita, taunya saya pergi ke rumah Zila di Bangkinang dan Zila pergi ke rumah saya di Pekanbaru. ya, berhubung orang tua kita gak saling kenal, jadi pada mulanya, perjalannan ini di lalui dengan aman, tanpa hambatan apapun.

Jadilah saya dan rekan-rekan saya (Zila, Zikri, Hasmuni, Wahyu, dan Ihsan) berkumpul di islamic center Bangkinang untuk menunggu taravel yang akan mengantarkan kami menuju kota Bukit Tinggi. Tepat pada pukul 16.00 setelah menunaikan solat asah. Si abang travel datang. Dan kita langsung caw menuju Bukit Tinggi. ternyata saudara-saudara, dari kita berenam yang ndaki, hanya dua orang saja yang mendapat restu dari orang tuanya. Sejujurnya dari hati yang terdalam saya sadar ini adalah sebuah kesalahan, jadi di harapkan pada para pembaca, untuk tidak mencontoh perilaku nakal kami ini.

Menjelang magrib hujan turun dengan lebatnya, belum lagi jalanan tergangggu dengan perbaikan jalan penghubung Sumbar-Riau. Sedikit was-was juga, takut kalau hujanya berlanjut sampai besok dan menemani perjalanan pendakian kami yang semuanya pemula ini.

Alhamdulillah ternyata hujanya mendera lewat tengah malam. beruntung banget, bawa teman yang komunikasinya bagus luar biasa, jadi selama perjalanan berlangsung teman saya ini Hasmuni asik banget ngobrolnya sama abang-abang travel. Asik bro, sampai kaya lagi ngobrol ama teman lama yang baru aja ketemu, saya yang bukan orang ocu cuma ngerti sekilas-sekilas doang apa yang mereka omongin,. Ternyata singkat dari pembicaraan mereka kira-kira ini intinya

“kita nanti sampai pasar koto baru kira-kira jam 12an malam, terus gimana? Apa kalian mau buat tenda dulu malamnya? Kasian yang ceweknya, saya habis ngantar kalian udah gak ada job lagi. apa gini aja, nanti saya bawa jalan-jalan ke jam gadang, kira-kira kita sampai jam 11 malam di jam gadang, main di sana sebentar, nanti masalah tidurnya, kita cari SPBU, sebagian tidur di mobil, lebihnya tidur di mesjid, biar lebih aman, terus nanti subuhnya, saya antar ke kaki gunung,” wah... Abang travel yang profesional yah, dan setelah membincangkan tawaran abang itu, kita semua setuju.

Main-main di jam gadang, tengah malam pula. ternyata walaupun udah larut malam gini, jam gadang tetap banyak pengunjungnya, dari mulai pedagang, anak muda, bapak-bapak dan ibu-ibu, tapi lebih banyaknya sih komplotan supir-supir yang melepas lelah setelah seharian berkutat dengan jalanan.

Setelah kita bosan bermian-main, berkeliling dan ngobrol-ngobrol. Akhirnya kita melanjutkan perjalanan mencari SPBU yang bisa di jadiin tempat tidur untuk malam ini. Hanya memerlukan waktu beberapa menit, kita sampai di SPBU, yang cowok-cowok berunding siapa yang tidur di mobil dan siapa aja yang di luar, kalau saya sama Zila mah santai aja, karna kita lah yang menjadi perioritas untuk aman tidur di mobil. Akhirnya palu pun di ketok juga.

Pak supir tidur di bangku supir, Zikri tidur dibangku sebelah supir, saya tidur di bangku tengah dan Zila di bangku belakang, sedangkan Ihsan, Wahyu dan Hasmuni, harus berlapang dada tidur di mesjid.

Pengalaman pertama buat saya, “bermalam di mobil”. Gak bisa terlelap seutuhnya, terlebih porsi tempat tidur yang harus dibagi sama orang-orang di bangku depan, karna kursinya pada di turunin ke belakang.
Subuh menyapa, Bagun tidurnya serasa gak habis tidur. Well, gimanapun tidur kita malam ini, kita tetap harus melanjutkan perjalanan di pagi hari. Setelah kita beres-beres, sedikit bersih-bersih tanpa mandi, dan solat subuh, kita melanjutkan perjalannan menuju kaki gunung merapi.

Jam menunjukan pukul 06.13 WIB kita sampai di tempat pemberhentian, pasar koto baru. sebelumnya kita udah janjian sama bang Hasbi, salah seorang anak Mapala UIN yang buka open trip merapi buat naik bareng. karana kita yang semuanya pemulai ini, gak mau ngambil resiko salah jalan atau kesasar. Jadi, pas sampai rumah tempat berkumpul, udah ada sekitar 30orangan pendaki lainya, yang gabung sama open tripnya bang Hasbi, mereka lagi pada sibuk ngeberesin barang.

Lalu kita lapor sama bang Hasbi, jumlah anggota dan perlengkapan apa aja yang kita bawa, dan apa aja yang kurang.
Setelah absen dan do’a bersama, perjalanan pun di mulai, kita pakai mobil bak menuju pos satu, perjalanan dari rumah menuju pos satu kira-kira mengahabiskan waktu 10 menit, ngelewatin jalanan terjal dengan kanan-kiri perkebunan sayur. gak kebayang, kalo dari rumah ngumpul itu kita jalan kaki sampe pos satu, bisa-bisa drop duluan sebelum ndaki.

Di pos satu udah banyak banget pendaki-pendaki lainya, yang baru mau naik, ataupun yang mau turun, parkiran motornya sampe penuh, padahal waktu itu udah selesai liburan dan lagi musim penghujan pula. Di sana satu sama lain saling sapa walaupun gak kenal, setidaknya sekedar melempar senyum saat berpapasan, suasananya ramah dan bersahabat.
setelah semua teman-teman berkumpul, kita registrasi dulu di pos 1, uang registrasi perorangnya 8.000. Jam 10.30 trekpun di mulai, sampai ke tempat yang namanaya parak batuang, di sana sumber air pertama yang kita temui, gak terlalu nguras tenaga lah kalo saya bilang, tapi cukup berasa capeknya buat kita yang nanjak tanpa olahraga dan persiapan fisik dulu. Dari pos satu sampai parak batuang kita menghabiskan waktu 2 jam lebih, karna jarakya gak terlalu jauh dan medanya juga gak berat, jalanan cukup lebar dan sedikit menanjak. Istirahat, sambil mengisi kembali perbekalan air dan cerita-cerita sama pendaki lainya. Di parak batuang makin terasa persaudaraanya, yang lagi nyeduh kopi dan teh pada manggilin pendaki lain yang baru nyampe buat gabung nyeduh juga. Lalu, perjalananya kita mulai lagi, menjelang siang, kira-kira jam 13.30,

Trek nanjak yang kadang-kadang ada bonusnya, tapi buat kita yang pemula dan tanpa persiapan, apalah arti lahan datar beberapa meter itu, bentara-bentar kita istirahat, padalah saya udah di kasih tas yang paling ringan isinya, tapi namanya nanjak dan kadang harus manjat-manjat juga, kaki ini udah mohon-mohon minta di aja berhenti, tapi, mengingat sayalah pencetus pendakian ini dan mengingat perjuangan teman-teman yang udah rela-relain waktu dan tenaga mau ndaki bareng saya. “Pokonya harus semangat ! Harus sampai puncak !” semakin dalam kita memasuki hutan tropis, pertanda semakin tinggi juga kita dari permukaan laut, suhu tubuh yang panas dan udara yang dingin membuat tubuh kita mengeluarkan asap, kayak di korea-korea gitu :D, air yang kita bawa juga berasa baru keluar dari kulkas. gimanapun capeknya kita ngelewatin tanjakan terjal, lahan tinggi yang mengharuskan kita manjat dan bertumpu pada akar-akar yang mencuat ke permukaan, kita tetap harus jalan, harus ketemu sumber air kedua karna persediaan air kita mulai menipis.

dan akhirnya sekitar jam 4 sorean kita sampai di sumber air ke dua, yaitu pintu angin, lega rasanya bisa dapat air lagi, sebelum sampai cadas. Satu hal yang di sayangkan sampai pintu angin ini, sampah berserakan di mana-mana. manusia.... Manusia.... Baru akan sadarkah saat alam sudah murka, tidak akan ada lagi rumput bergoyang yang bisa kau tanyakan kalau alamnya sudah murka. Padahal selama pendakian banyak tulisan yang mengingatkan para pendaki bahwa gunung bukan tempat sampah, kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga alam ini, ya gak guys,

Kata seorang rekan pendaki, kita bakal sampai cadas setelah melewati lubang manciak, sempat terbayang lubang manciak itu lubang yang benar-benar lubang, yang mengharuskan kita ngesot-ngesot kalau mau lewat atau bahkan merayap. Wah, tarnyata tidak seperti gambaran saya sebelumnya, lubang manciak itu adalah jalur kecil yang hanya bisa di lewai satu orang, kanan, kirinya di apit oleh tebing. setelah itu kita sedikit turun jurang dan naik lagi, berpijak pada batu-batu kokoh, dan berjalan nanjak lagi masih dengan pijakan batu. gak jauh di atas sana, kita mulai liat banyak tenda-tenda pendaki lain. Saat matahari udah benar-benar mau undur diri, kita baru sampai cadas, naik-turun nyari lokasi yang agak datar buat diriin tenda.

Udaranya udah mulai gak karuan, jangan coba-coba ngelepasin apapun yang kita pakai, karna sekalinya di lepas dan di pakai lagi,di jamin tu benda bakal basah, dingin dan gak enak lagi di pakai. Kalau perlu abisin aja semua pakaian yang kita bawa, buat ngusir dinginya. Teman-teman yang cowok lagi pada bangun tenda, gak enak rasanya kalau kita yang cewek diem aja, jadilah saya ngajakin Zila nyari kayu buat perapian. Ya ampun gaes,, gak ada lagi kayu kering kalo udah magrib gini, semuanya terasa basah di pegang, bukanya kayu kering malah kayu dingin yang kita dapat. Terkumpulah beberapa kayu dingin yang kelihatan masih kering. berkali-kali kita coba hidupin, udah di sumpel-sumpel ke dalam batu-batu, udah di siram minyak tanah berkali-kali, tapi apinya selalu kalah sama angin dingin yang sekalinya berhembus gak nanggung-nangung kencengnya, dan perapian kita gagal berasap, sedikit kecewa di sana.

Jam 7 malam, barulah kita bisa ngeganjal perut yang udah keroncongan belum di isi dari tadi siang, hasil minta perapianya bang Hasbi dan bertemankan lauk yang udah di siapin dari rumah. Hasil bincang-bincang kita sambil makan, katanya kita bakal nanjak lagi nanti subuh, mau liat sun rise, sekalain biar gak telat juga ngejar turunya. Untuk menghemat tenaga, di saat para pendaki lainya seru bernyanyi dan bergitar ria, di depan perapian, kita milih tidur lebih awal. Belum lama rasanya mata ini terlelap, tiba-tiba terdengat teriakan wanita dan gaduh-gaduh pendaki lainya, nabrak-nabrak tali tenda orang. Hoh, maigosss,, tengah malam ini ada yang kesurupan, karna terbangun dari excident tadi, jadi gak bisa tidur lagi, karna makin kerasa dinginya nusuk banget, padahal pakaian komlit semua, sampai gemetaran, gak sanggup lagi tidur, akhhirya kita di suruh pakai SB yang cuma satu, di paksain masuk berdua ama Zila, SBnya serasa gak fungsi, gila dinginya brooh,, jadilah yang cowok bongkar-bongkar tas, ga tau baju siapa, pakai aja semuanya, berlapis-lapis, udah kayak kue lapis, dinginya masih gila ajaaa... Di luar anginnya gerasak-gerusuk mau robohin tenda, benar-benar ngajak berantem.

Jam 3 dini hari si Frengki, tetangga sebelah udah gaduh-gaduh bangunin pendaki lainya, teriak-teriak di suruh nanjak buat liat sun rise, ya ampun Frengki, di dalam tenda aja, anginya terasa menusuk sukma, apa lagi di luar sana, dan di atas sana. Jadilah jam 5 subuh kita bangun dan tiba-tiba aja, jeng-jeng ada nasi yang entah dari mana, kita yang masih pada muka batu, baru bangun tidur, masih pakai masker, di suruh sarapan. Gila, ini kayanya nasi dari freezer tetangga deh, rasa makan es, keras-dingin.

Dengan modal segumpal nasi yang makanya malas-malasan dan gak habis juga, kita lanjutin perjalanan menuju puncak. Perlu di ketahui saudara-saudara bahwa saat itu persediaan air kita sudah habis. Bismillah aja kita naik, wah-wah.... Medan batu yang gak kokoh dan nanjak terus buat beberapa langkah kita kayak beberapa meter, baru sebentar jalan, jantung udah berdegup lebih kencang dari saat melihat si doi saat jatuh cinta, *cielah lima langah berhenti, lima langkah berhenti, dan mungkin saya yang paling sering ngajak break, ini tanjakan maut namanya. Teman-teman saya yang cowok mulai mempertanyakan perubahan semangat saya yang berubah dari hari kemaren,  kalau di tanya, jawabanya hanya “capek” tapi emang bener itu lah yang saya rasain, emang capek luar biasa, akhirnya untuk waktu beberapa menit saya bersandar pada sebongkah batu, sambil ngemut madu yang kemaren di kasih sama bang Hasbi. waktu itu gak tau kenapa, tiba-tiba saya putus asa rasanya, dan bilang ke teman-teman “gimana kalau aku tunggu di sini aja” terharu rasanya, liat teman-teman yang terus-terusan ngasih semangat dan bilang, “kita naik dan turun harus sama-sama. kita sampe cadas aja, itu udah hebat, nab. Kalau mau udahan sampai sini, kita semua sampai sini” cuman Zila yang waktu itu liat, tiba-tiba air mata saya netes, bukan sekali, tapi berkali-kali, (oh, friend i proud of you) dan teman yang cowok gak bosan-bosan terus nanya kenapa, akhirnya saya bilang, “haus”, untuk menyudahi pertanyaan itu. Beberapa pendaki bilang puncak sebentar lagi, tapi sun rise udah lewat kita gak sampai-sampai puncak. Seorang pendaki lewat dengan tentengan air yang juga terbatas, teman saya Hasmuni beraniin diri buat minta air, dengan senang hati pendaki itu ngasih sebotol air mineral ke kita, “ambil aja, buat simpanan sampai atas” (oh...sweet, malaikat banget) dan botol itu dengan cepat berpindah ke tangan saya. Katanya di atas ada sumber air juga, jadilah Wahyu di tugaskan untuk naik duluan, nyari sumber air, kita bakal nyusul sambil jalan pelan-pelan.

Gak sampai 5 menit kita jalan, kita dapatin pemandangan luar biasa yang benar-benar ngegantiin capek kita dari cadas sampai puncak, dataran luas terbentang di depan mata, ini lapangan di ketinggian merapi, hanya beberapa meter lagi kita sampai puncak tertingginya (puncak merpati). Gak berhenti-henti bersyukur bisa sampai atas sini, gak sedetikpun senyum kita berhenti terukir, bahagia banget rasanya, setelah lelah-lelah dan hampir putus asa. Kita sampai puncak gaesss !!!!

Lensa kamerapun beraksi, sepanjang jalan sampai pinggiran kawah, kita terus mengabadikan momen. tapi gak lengkap rasanya, karna anggota kita kurang satu, kita jalan lurus, menyusuri pinggiran lereng, sambil sesekali Hasmuni, Ihsan dan Zikri teriak-teriak manggilin Wahyu. Bermeter-meter dari posisi kami, seorang yang mereka kenal banget posturnya melambai-lambai, oh, tuhan.... Sempurna rasanya, Hasmuni sama Ihsan lari kenceng banget ke arah Wahyu, kaya filem-filem india tiga pasang kekasih yang sudah lama tak berjumpa *ehh,,

Di ketinggian merapi sana, kita nongkrong di atas pasirnya, di pinggiran lerengnya, nulis-nulis pesan di kertas yang udah kita siapin dari rumah, cerita berjam-jam. Dan akhirnya, kita sama-sama jalan sampai puncak tertingginya “puncak Merpati”.

Kita turun dari cadas jam 2 siang, dengan lari-larian dan loncat-loncat dari satu gundukan tanah ke gundukan lainya. Udah bahagia, gak kerasa lagi capeknya, dan kita sampai pos 1 jam 6. Ajaib ga sih, naik seharian dengan turun cuma 5 jam !

Gak bakal lupa, gimana capek dan bahagianya kita di ketinggian Merapi sana, maksih kepada teman-teman yang udah luangin waktunya buat saya dan Zila yang otak dari pendakian tanpa persiapan ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Catatan pendakian Merapi Sumatra Barat"

Posting Komentar