Bunga Sore

Mentari baru menampakkan dirinya sekilas semburat-semburat keemasanya menerobos celah-celah pohon jambu yang berdiri kokoh di depan rumah sederhana milik pak jaka dan buk nisa.


pagi itu pukul 06:45 pak jaka membuka pintu rumah sederhananya perlahan, lalu mengeluarkan motornya yang sudah semalaman menjadi penghuni ruang tamu yang berukuran 3x3 meter .
perlahan di engkolnya motor yang sudah setia menemaninya selama 5 tahun belakangan ini, cukup dengan dua kali engkolan, motor itu telah menyala, tiba-tiba keluar seorang bocah kecil mengenakan baju tidur dan membawa boneka beruang berwarna coklat dari dalam rumah, ia mendekati pak jaka sambil mengucek-ngucek matanya.

“ayah nanti aku mau jalan keliling-keliling” katanya sambil menarik baju pak jaka yang di panggil ayah.

“iya , tapi naila harus mandi dulu baru ayah ajak jalan-jalan,” kata pak jaka sambil berjongkok menyamakan posisinya dengan putri tunggalnya yang masih berusia 3 tahun.

“iya tapi ayah janji ya” naila mengerucutkan mulutnya sambil memeluk boneka kesayanganya erat-erat di dada. Pak jaka yang tersenyum melihat tingkah putri kecilnya yang lucu itu.

“iya, yuk kita sarapan.” Pak jaka menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah sambil bertanya-tanya tentang tidur putri kecilnya tadi malam.

Buk Nisa meletakkan semangkuk bubur ayam di hadapan suaminya dan semangkuk kecil bubur ayam lagi di hadapan naila yang duduk di samping ayahnya.

“naila gak cuci muka dulu sayang ?” tanya ibunya lembut sambil mengkuncir rambut putri kecilnya itu.

“ayah gak cuci muka, “ jawabnya sekenaan

“eh, ayah sudah mandi tau,” ejek ayahnya ke arah naila. Bu nisa terkekeh melihat naila memajukan mulutnya tidak suka pada ayahnya, lalu menggendong naila ke kamar mandi untuk mencuci muka.
sarapan pagi itu terasa sangat ramai sekali, karna naila tidak henti-hentinya menceritakan tentang temannya yang kemarin terjatuh ke dalam parit.
waktu menunjukan puku 07:10 saat pak jaka mendongak melihat jam dinding yang menggantung di tengah ruangan kecil itu.

“ayah berangkat dulu ya,” tutur pak jaka sambil berdiri dari duduknya. Buk nisapun langsung berdiri mengikuti suaminya yang berjalan ke arah pintu, naila berusaha untuk turun dari bangkunya mengikuti ibunya dari belakang. Buk Nisa mencium punggung tangan suaminya khidmat lalu menggendong Naila yang baru tiba dari belakangnya. Pak jaka mengecup pipi putri kecilnya yang lucu itu, sambil membelai kepalanya.

“Nela mau jalan-jalan,” tutur naila sambil mengayun-ayunkan kakinya mau turun mengikuti ayahnya.

“ayah nanti terlambat loh kerjanya kalau jalan-jalan dulu,” kata ibu menenangkan naila yang makin banyak bergerak dalam pelukanya,

“iya , nak nanti ayah ajak jalan-jalan , tapi kalo udah mandi, naila kan belum mandi “ kata pak jaka. “sudah ya, nanti sore naila harus sudah mandi kalo ayah pulang kerja, biar kita langsung jalan-jalan, ayah pergi dulu ya, asalamualaikum,” pak jaka memasukkan gigi motor lalu perlahan mengeluarkan motornya dari halaman rumah yang tidak begitu luas itu.

“walaikum salam” jawab buk nisa. Sedangkan Naila terus menggeliat mau turun dari pelukan ibunya, sambil menangis.

“nela mau jalan sekarang, haaa,...aaaa... nela mau jalan sekarangggg,.... ayahhhh,,... tunggu nelaaa,... ayaaaaaahhhhh,.. hik..hik..hik... ayah..... nela ikut ayah,.... hik...hik...hik...” naila menangis semakin keras saat ayahnya menghilang di pembelokan jalan .

“sudah-sudah, nanti naila jalannya sore-sore waktu ayah pulang kerja ya nak,” buk nisa coba menenangkan gadis kecilnya itu.

Tidak membuthkan waktu lama bagi buk nisa untuk menenangkan putri kecilnya,. Setelah rumah rapi dan bersih, buk nisa bergegas untuk belanja ke warung , saat baru melangkah keluar dari pintu rumah, naila langsung berhamburan lari mengejar ibunya. Buk nisa membiarkan putrinya turut pergi bersamanya, letak warung itu tidak terlalu jauh dari rumah mereka, sehingga dapat di capai dengan berjalan kaki, saat itu waktu masih menunjukan pukul 09:22.
anak-anak kecil berlarian main di lapangan depan warung sambil menunggu ibu mereka berbelanja, ada yang main kejar-kejaran, ada yang asik memungut batu-batu kecil di pinggiran jalan dan ada juga yang memetiki bunga asoka yang tumbuh di pinggir-pinggir lapangan. Naila berlari kearah teman-temannya saat ibunya sedang asik berbelanja sambil ngobrol dengan ibu-ibu yang lain.

“Naila ayo sini,” panggil buk nisa dari pingir warung, naila yang di panggil namanya langsung berlari ke arah ibunya. “kita ke rumah buk tini dulu ya “ kata ibunya sambil menggandeng tangan naila, dan tangan sebelahnya menenteng pelastik belanjaan.

“ngapain bu ?” tanya naila sambil mendongak

“mau ngambil bunga,”

“ih, ibu kayak anak-anak aja, ambil-ambil bunga “ cerocos naila

“beda dong, kalo ibu, bunganya buat di tanam, kalo naila bunganya buat di cabut-cabutin, terus di mainin, terus di buang, iyakan ?”

“kan masih kecil” jawab naila sambil mengayun-ngayunkan tangan ibunya

Usai menyelesaikan urusannya dengan buk tini, buk nisa kembali pulang ke rumah bersama putri kecilnya, “ibu itu bunga apa ?” tanya naila sambil menunjuk tangan ibunya yang menenteng sekantong pelastik bunga yang akan di tanam.

“ini namanya bunga pukul 4 sore”

“hah ? naila gak percaya ah,” katanya sabil berjalan mendekati pelastik tentengan berisi bunga itu.

“ya udah, kita liat aja nanti,” kata ibunya “tapi nanti naila bantu ibu ya, kita tanam bunga di depan rumah, sama-sama”

“oke, naila gak takut” katanya sambil melipat kedua tangan ke depan dada.

Sesampainya di rumah, buk nisa langsung mengeluarkan alat-alat berkebun, untuk langsung menanam bunga yang baru saja di mintanya dari buk tini. Naila terlihat sangat senang sekali membantu ibunya menanam bunga itu, setelah semua bunga tertanam, naila langsung mengambil air untuk menyiram bunga-bunga yang baru saja di tanamnya.

“bunga ini nanti akan mekar saat sore hari, makanya namanya bunga pukul 4. Bunganya kecil-kecil kayak naila,” ujar ibunya smbil terkekeh.

“berati nanti nela bisa tunggu ayah pulang, sambil tunggu bunga sorenya mekar dong bu,” tutur putrinya, “habis itu nela jalan-jalan sama ayah, keliling-keliling. Iya kan bu ?” tanya naila

“iya sayang, makanya kamu berdo’a biar bunga sorenya bisa tumbuh hari ini,” buk nisa menuntun putrinya untuk masuk ke rumah.

“iya, bu. Bunga sore untuk ayah, untuk tunggu ayah bawa nela jalan-jalan” katanya sambil berjalan masuk bersama ibunya

Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, sudah tiga hari belakangan ini, naila selalu menanti waktu sore untuk menyaksikan bunga sorenya memekar dan mengembangkan kelopak-kelopak warna-warninya, dan juga menantikan ayahnya pulang untuk segera membawanya jalan-jalan sore. baginya semua itu adalah keindahan yang sempurna, waktu yang sangat menyenangkan, meski kebanyakan orang tidak menyukai penantian. Naila selalu senang saat di suruh menyiram bunga sorenya dan saat ia harus menunggu bunga sore itu memberikan keindahan warna-warna kecilnya untuk naila, hingga kadang ia tertidur menunggu bunga-bunga itu bermekaran. Hingga suatu sore tiba, saat itu waktu menunjukan pukul 17:15 naila telah menunggu sejak satu jam yang lalu di temani dengan segelas susu putih yang di sediakan ibunya, bersama boneka beruang coklat kesayangannya, bunga-bunga sorenya tak kunjung bermekaran, biasanya bunga-bunga itu telah memamerkan warna-warna kecilnya sejak 20 menit yang lalu,. Lama naila menunggu, hingga ia tertidur di kursi teras dan terbangun kembali, bunga itu tak kunjung mekar, sudah hampir 2 jam ia menunggu, mataharipun tak lama lagi akan menghilang di ufuk barat.
dua hal yang menjadikan sorenya indah, yang senantiasa di nantikanya di teras ruamah, pada hari itu tak kunjung datang, tidak bunga dan tidak pula ayahnya yang akan membawanya jalan-jalan mengelilingi perumahan sekitar.
3 jam berlalu waktu menunjukan pukul 18:24 sebuah mobil hitam mendekati rumah sederhana itu, dan berhenti di depan rumah, naila langsung memanggil ibunya masuk ke dalam rumah. saat ia kembai kedepan orang-orang telah ramai memenuhi halaman rumahnya, buk nisa berdiri diam tanpa kata melihat segerombolan orang mengangkat sesosok tubuh masuk ke dalam rumahnya.

“pak apa yang terjadi pak ?” tanya buk nisa pada seorang bapak yang masuk lebih awal

“saya juga gak tau buk, kata teman saya suami ibu tertidur sampai jam pulang kerja tadi, ternyata pas di bangunkan oleh teman saya, suami ibu udah gak ada lagi bu.” tutur bapak itu ikut prihatin,. Perlahan butiran air mata itu mengalir, buk nisa mendekati suaminya yang telah tiada itu, bulir-bulir air mata itu mengalir makin deras, di peluknya jasad itu, ia tak percaya, begitu cepat suaminya meninggalkan ia dengan anak semata wayangnya.

“ibu, ayah kenapa ?” tanya naila pada ibunya yang di balut kesedihan sambil meringkuk di samping jasad ayahnya, “ibu, ibu jangan menangis,” kata naila. Buk nisa mengadahkan wajahnya, di peluknya putrinya yang masih kecil itu. tubuhnya gemetaran, wajahnya mulai memerah.

“naa..ii.. la..” tuturnya terbatah, sambil berusaha untuk menguatkan diri , “nai, a y a h, udah.. gak ada” buk nisa semakin kuat memeluk putrinya. Naila yang tak mengerti berusaha untuk memahami apa yang terjadi.

“ayah meninggal ya bu ?” tanya naila polos, “kenapa ayah meninggal ? apa karna bunga sorenya tidak mekar ?” matanya mulai berkaca-kaca. “ibu, naila mau di bawa jalan-jalan sama ayah” buk nisa semakin terpukul mendengar ungkapan putrinya itu. “bu, naila udah mandi, naila udah tunggu ayah dari tadi, kenapa ayah gak bawa naila jalan ? kenapa bunganya gak mekar bu ? tanya naila pada ibunya yang hanya diam saja. Naila meraih tangan ayahnya, “ayah, ayah belum ajak naila jalan-jalan hari ini. ayah kenapa pergi ? hik..hik..hik..” naila mulai sesenggukan. Buk nisa menghapus air matanya, di tatapnya naila yang menangis di samping jasad ayahnya.

“naila, ayah mau istirahat. Nanti suatu saat naila jalan-jalan lagi sama ayah, ayah gak pergi jauh-jauh kok sayang,” tutur buk nisa.

“engggak,.. hik..hik... nanti gak ada lagi yang datang sore-sore, gak ada lagi bunga sore, gak ada ayah,.” Tangisnya makin kuat.

“naila,” buk nisa merangkul putrinya, di usapnya air mata yang mesih mengalir deras itu perlahan, “bunga itu akan tetap mekar, ayah akan tetap ada di dekat kita, nai”

“enggak, bunganya gak mekar hari ini.” naila masih saja menangis, air mata buk nisa kembali jatuh, dan segera di hapusnya air mata itu.

“naila, ayah akan tetap ada, di sini,” buk naila meletakkan tangan naila di hatinya,. “ayah akan tetap ada di hati naila, setiap naila jalan, berarti naila akan jalan sama ayah.” Bibir buk nisa gemetaran mengungkapkan hal itu pada anaknya. Ayah akan tetap ada di hati kami ucap buk naila dalam hatinya ya allah kuatkan hamba,

Sore itu tak lagi menjadi sore yang di tunggu oleh naila, tak ada lagi bunga yang membuatnya merasa senang berlama-lama menungu di depan teras rumah, tak ada lagi ayah yang akan datang dan membawanya keliling perumahan. Tak ada lagi bunga sore yang di nantika oleh seorang gadis kecil di teras rumahnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bunga Sore"

Posting Komentar