berteman dengan ku, jangan karna apa yang kupunya


Pulang dari jakarta, bawa oleh-oleh cerita dari maluku utara, si anak batu kota Bacan. Selama di Jakarta saya nginap di salah satu kos teman yang udah 3 tahun terakhir tinggal di Jakarta, dan 3 tahun juga kita gak ketemu. Singkat cerita, beberapa hari saya tinggal di sana, saya sering ngeliat cewek dengan kerudung panjang di doubel pula, pakai kaos kaki, akhwat lah gayanya. Awalnya saya fikir mereka akrab karna satu kampung atau saudara. tapi ternyata dugaan saya salah. Mereka emang sama-sama orang Maluku Utara, tapi bukan satu kampung dan baru 2 minggu belakangan ini juga kenal.

Jadi ceritanya, malam terakhir saya nginap di Jakarta, si anak Bacan datang untuk yang ke sekian kalinya. Barulah di sana kita kenalan. Dan di sana juga saya baru tau, kalo kita ternyata seumuran.

Dia cerita banyak banget tentang kehidup rantaunya yang baru dua minggu ini. Saya kerjanya nanya-nanya doang, menjadi pendengar yang baik, dan sedikit bercerita tentang kehidupan saya. Saya banyak ketawa dengar cerita dari si anak bacan ini, selain karna logat dan bahasanya yang masih kental banget di tambah dengan kecerdasan dia membolak balik kata. Lucu, asli saya ketawa ngakak banget denger dia cerita, plus pinter banget gombalin anak riau yang katanya cantik ini. *Eh,lupakan..lupakan

 Dia cerita mulai dari awal datang ke Jakarta dan di titipin ke kosan anak tetangga sebelah sama abangnya. Yang dia gak kenal sama sekali mereka-mereka teman sekosnya, sampai dia ketemu ama temen saya yang anak ternate ini. Terus dia cerita tentang kampungnya yang agamis, cerita tentang tragedi islam-keristen di Maluku, cerita tentang batu bacan yang katanya mahal banget, tentang akar-akaran ajaib, cerita tentang pacarnya, cerita tentang sekolahnya dan guru-gurunya, pokonya banyak banget deh yang di ceritain si anak Bacan.

Satu hal yang mau saya angkat dalam tulisan kali ini, tentang pertemanan yang harusnya gak memandang dari materi seseorang. Udah sering banget dengar cerita yang kaya gini, bahkan saya nemuin beberapa teman yang kayak gini. “No Money No Friend”

Jadi, si anak Bacan ini cerita tentang teman-teman barunya di kos, yang buat dia gak betah, intinya ya itu tadi. Padahal mereka terlahir dengan ras yang sama. Entah karna teman-temanya yang udah terkontaminasi dengan kehidupan keras jakarta, atau emang dari sananya gitu.

“aku heran kenpa orang-orang ini dekatnya waktu aku lagi ada uang. Mungkin mereka pikir aku orang kaya, padahal tidak. Biasa saja. Baru berapa hari aku di sini, sudah di minta uang kos, kalau apa-apa, aku yang di suruh bayar. Harusnya kita berteman jangan seperti itu, harus sama-sama saling bahu membahu. Kalau kita sedang berpunya, kita bagi yang belum punya. Nanti akan ada masanya kita juga tak punya, bagi juga teman yang lain. Jangan karna ada maunya saja. Nanti tak ada yang senang sama kita, susahlah hidup. Aku kalau berteman gitu nab, walaupun hanya seribu di kantong, kalau teman butuh, aku kasih dia. Kalau ada yang pinjam uang aku tak kasih, berarti aku betul-betul tak punya uang. Di sini aku baru merantau, belum tau apa-apa tentang Jakarta. Rasanya aku rendah sekali di mata mereka. nanti sudah masuk kuliah, sudahlah, tak di sana lagi aku. aku cari teman kos baru yang berteman tulus, tidak karna ada maunya saja.”

Denger cerita dia saya mangut-mangut, setuju. kita berteman harusnya tulus, saling berbagi, susah senang sama-sama. Jangan datang pas senang doang. kasian juga, dia yang baru banget kenal ama Jakarta. pas dapat temen, malah gitu orangnya.

Kehidupan di sini emang keras. bukan maksutnya mau membedakan satu etnis karna domisili tempat tinggal yang berbeda. Tapi dari beberapa yang saya lihat dan dengar, ya begitulah adanya. Gak kenal mau dalam wadah pesantren sekalipun, wadah halaqoh tarbiah atau appun itu. Kita pasti bakal banyak jumpai orang-orang kaya gitu, sebenarnya bukan cuma di Jakarta, di tempat lain juga. Gak terkecuali di Riau. Tapi alhamdulillah saya gak rapat dengan orang-orang yang begitu. Dan kalaupun ada, mungkin saya duluan yang menjauh.

Om saya pernah bilang waktu awal-awal saya sekolah di Jakarta. “hati-hati berteman di sini. Jakarta keras” ya, bagaimanapun saya extra hati-hati berteman, di sini kita susah bedain mereka yang tulus dan enggak. Saya yang waktu itu sekolah di wadah pesantren, gak cuma satu-dua yang begitu. Tapi sekali lagi, maaf bukan maksudnya membedakan etnis. Ini ceritanya karna teman saya yang baru merantau udah ngerasain kerasnya hidup di Jakarta, dan ini jadi pembelajaran buat kita semua, di manapun kita berada. Karna hukum alam pasti akan berlaku, segala sesuatu yang kita lakukan akan kembali pada diri kita. Kebaikan akan di balas kebaikan dan keburukan akan di balas keburukan.

Bukanya dalam islam juga udah jelas di katakan “tidak beriman seorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” mari kita bercermin, sudah sesempurna apa iman kita? Saat kita berteman waktu ada butuhnya aja.

Islam itu kaffah, bukan cuma penghambaan seorang pada tuhanya yang di jadikan penilaian kualitas iman seorang hamba. Tapi hubungan seorang manusia dengan manusia lainya juga. dan banyak aspek lain yang juga jadi penilaian kualitas iman seorang hamba.


Jangan lihat pada paras, materi dan jabatan. Karna semua itu akan hilang, akankah pertemanan juga hilang beiringan dengan hilangnya nikmat tuhan yang di titipkaNya pada kita? Harusnya tidak kawan. Cintai dan benci saudaramu karna Allah, semuanya harus di landasi dengan iman, agar yang keruh dapat jernih dan yang kotor dapat bersih.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "berteman dengan ku, jangan karna apa yang kupunya"

Posting Komentar